Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Para Pelacur Kebudayaan

Kekerasan lewat kebudayaan jauh lebih mengerikan ketimbang tindakan fisik. Sebagaimana telah dilakukan para seniman maupun budayawan Indonesia yang secara tidak langsung melacurkan diri untuk sebuah kepentingan Amerika Serikat.  Pasca pembantaian 1965-1966, kebudayaan menjadi produk yang efektif untuk melanggengkan ideologi anti-komunis. Itu sebabnya bagi sebagian masyarakat, membunuh orang komunis merupakan suatu kewajaran bahkan telah menjadi keharusan. Karena anggapan itu pula, masyarakat kini mengidap penyakit ketakutan yang parah soal komunisme. Inilah bukti bahwa kekerasan lewat kebudayaan jauh lebih mengerikan ketimbang tindakan fisik. Karena telah membekas hingga berpuluh tahun dan tidak tahu kapan akan berakhir. Seperti yang dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Manifesto Kebudayaan. Melalui buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, kita bisa mengetahui sesungguhnya pendirian Manifesto Kebudayaan  tidaklah murni untuk kebudayaan, melaink

Anak Jawara Tak Lagi Istimewa

Setelah Tubagus Chaery Wardana jadi tersangka, panggung kekuasaan dinasti politik Ratu Atut mulai goyang. Kekuatan klan jawara yang hidup dari dana APBD Banten ini mulai dilucuti. Wajah Hj. Ratu Atut Choisyah tersebar dari ujung ke ujung di seputaran wilayah Banten, terutama Kota Serang. Di baliho ukuran raksasa, ia menebar senyum dengan latar belakang pembangunan pusat pemerintahan provinsi Banten dan slogan “Teruskan Pembangunan Banten”. Awalnya, tidak ada yang menyangka kalau perempuan ini bisa sebegitu hebatnya menancapkan kekuasaan politik di wilayah yang memang terkenal sebagai tanahnya jawara. Tapi, kesangsian itu kian pudar setelah Atut berhasil membangun dinasti politiknya, terutama pada kantung-kantung kekuasaan eksekutif dan legislatif di Banten. Hampir semua keluarganya masuk dan menjabat sebagai pejabat politik.  Tapi ibarat hukum alam, tidak ada sesuatu hal di dunia yang selalu abadi. Hukum itu semakin bulat saat salah satu anggota klan jawara ini, Tb Cha

Jeritan Hati Petani

Bukan menjadi rahasia lagi kalau petani selalu diidentikan dengan kemiskinan, bahkan tidak jarang di lingkungan sekitar kita atau bahkan kita sendiri malu saat mengatakan kita atau orang tua kita berprofesi sebagai petani. Salah satu yang diindikasikan menjadi penyebabnya adalah minimnya lahan garap yang dimiliki seorang petani, bahkan sebagian besar petani di Indonesia tak memiliki lahan sendiri, alias buruh tani. Fenomena ini jauh berbeda dengan kondisi petani di Negara-negara maju yang luas lahan garapnya mencapai puluhan hingga ratusan hektar. Pilu rasanya ketika melihat nasib kaum petani negeri ini, dari zaman penjajahan sampai Era Reformasi, anak cucu petani hidupnya tak putus dibikin miskin. Kerja kerasnya diremehkan, kesabarannya selalu dikhianati untuk kepentingan para petinggi, aparat hingga politisi. Di zaman penjajahan Belanda misalnya, para petani ditindas lewat politik tanam paksa. Di zaman Jepang, para petani dipaksa jadi romusha. Di zaman Orde Baru, puluhan ri