Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Saat Kambing Hikmat Merayakan Idul Adha

Salah satu ibadah prinsip dalam Idul Adha adalah menyembelih hewan kurban. Bahkan berkurban dalam arti menyembelih hewan kurban adalah ibadah paling utama di hari raya Adha dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah). Rasulullah bersabda: “Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr (10 Dzulhijjah) yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai kepada Allah sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban” (HR At Tirmidzi). Bagi masyarakat yang kurang mampu, kurban menjadi salah satu momen yang menggembirakan karena mereka bisa mendapatkan daging dengan gratis. Bagi mahasiswa rantau pun Idul Adha menjadi ajang untuk kumpul bersama sambil nyate-nyate ria. Rasanya tidak adil jika Idul Adha ini hanya mendengar kebahagiaan manusia saja. Sebagai manusia yang berperikehewanan sudah selayaknya mendengar curhatan dari salah seek

(Takut) Pagi

Entah kenapa pasca putus dari si Mawar, saya selalu dirundung rasa takut berlebih dengan pagi. Mungkin semacam phobia atau sejenis sindrom apalah. Tiap pagi tiba saya selalu gelisah, selalu teringat masa lalu saat-saat masih menjalin hubungan dengan si Mawar. Tiap pagi saya selalu teringat dengan ucapan ‘selamat pagi’ yang dulu rutin terlontar dari mulutnya. Jika dihitung-hitung, ucapan itu hamper tiap hari. Baik di hari kerja maupun saat weekend tiba. Saking seringnya mengucapkan selamat pagi, sebelum tidur tak lupa saya meletakkan Handphone di dekat kepala. Tujuannya satu, saya ingin segera mungkin membalas ucapannya. Pernah suatu ketika, saat saya ingin mengucapkannya duluan, tiba-tiba pesan darinya sudah masuk lebih dulu. Aneh memang. Tapi inilah kebiasaan Mawar kepada saya. Kadang saya sempat berfikir, kok nggak ada bosen-bosennya. Sedahsyat itukah rasa perhatian yang ia berikan kepada saya?. Karna itulah kenapa saya merasa takut tiap pagi datang. Kebiasaan si Mawar mengu

Pagi Sayang….

Kenapa aku masih memanggil kamu dengan panggilan sayang?, karena perasaanku sampai detik ini masih memendam rasa sayang. Entah sampai kapan panggilan itu bakal hilang. Entahlah… Berat memang semua ini. Di saat hubungan ini berjalan lancar tiba-tiba mendadak tercerai-berai. Hubungan yang hampir empat bulan ini seakan sirna begitu cepat. Sedikit demi sedikit aku mencoba untuk memahami semua ini. Hingga pada akhirnya aku menemukan sebuah kesimpulan bahwa semua yang terjadi saat ini bukanlah spontanitas, tapi memang keadaan ini sudah direncanakan. Entah direncanakan Tuhan atau mungkin direncanakan oleh makhluk ciptaannya. Semalam, aku ingat betul apa yang kamu raikan tentang semua ini lewat telpon. Kurang lebih kamu bilang begini, ”Berat meninggalkan kamu Mas, apalagi aku sayang banget sama kamu,”. Sejujurnya, tak ada sedikitpun rasa senang dalam ucapanmu malam itu. Karena aku meyakini bahwa apa yang kamu bilang itu hanya sebuah retorika kosong. Retorika yang keluar dari keb

Putus

Sebut saja mawar, karena kebetulan dia suka bunga mawar. Empat bulan sudah saya menyandang status pacaran bersamanya. Satu hal yang menarik dari hubungan pacaran kita, untuk menyampaikan rasa rindu, kami saling membuat tulisan yang dikirim lewat email. Kami percaya, menulis adalah cara terbaik untuk menyampaikan isi hati. Maklum, kami tinggal di tempat yang berbeda. Saya di Ciputat, si mawar tinggal di Bandung. Dua hari yang lalu, sebuah kalimat yang mungkin haram hukumnya ketika diantara kita mengucapkannya tiba-tiba keluar. “Mas, kita putus ya? Saya sudah dilamar sama orang lain” ucapnya malam itu. *Maaf, jari ini sudah tak kuasa lagi melanjutkan ceritanya.

Romantisme Mahasiswa Kampus Merah

“Aku bukanlah siapa-siapa, serpihan dongeng ini pun bukanlah apa-apa. Sekadar reuni… veteran serdadu kampus di lorong sunyi kehidupan,”. Begitu kira-kira Amran Razak memulai kalimat dalam bukunya yang berjudul Demonstran dari Lorong Kambing. Buku ini seolah membenarkan ungkapan filosofis; setialah pada peristiwa. Bagi orang awam, mungkin menganggap sebuah peristiwa adalah peristiwa, tak lebih dari itu. Namun, bagi orang sensitif, peristiwa merupakan momen yang membentuk sebuah kisah. Tanpa peristiwa dan tanpa kisah, seseorang bukanlah apa-apa dan mungkin bukan siapa-siapa. Amran Razak, si empunya peristiwa dan si pemilik kisah merupakan pribadi yang sensitif. Ia mampu mengekspresikan ingatan puluhan tahun dengan cara yang paling rinci. Sosok yang hadir di momen-momen kritikal di antara dunia kekuasaan dan dunia kampus, di antara idealisme mahasiswa Universitas Hasanuddin dan kekuasaan Orde Baru. Di sinilah pengalaman daya kritis Amran tergambar antara binal dan banal. Binal k

Asmara yang Dipolitisir

Malam itu, seorang pria tinggi putih bernama Doi mendadak lesu. Di balik wajahnya yang (jujur) kurang menarik namun dengan perawakan kalem sontak tak berdaya. Gaya rambut yang sebelumnya mirip dengan Aliandro Syarief mendadak berubah total menjadi sedikit botak. Tak ada sepatah kata pun saat itu yang keluar dari mulutnya. Celana jeans berwarna biru tua pun terlihat lusuh. Kaos hitam bergambar mobil tua yang dipakainya agak sedikit mengeluarkan bau yang kurang sedap. Diambilah sebungkus rokok Djarum Super yang ia selipkan di kantung celana. Tanpa ada isyarat, tangan kirinya sudah memegang rokok, begitu juga tangan kanannya yang sudah memegang korek. Di hisaplah rokok itu dengan penuh tergesa-gesa. “Gue putus bro,” ujarnya dengan penuh kesal. “Hah, serius lu? Putus kenapa?” celetuk saya. Tak ada jawaban yang terlontar dari mulutnya kala itu, Suep yang sebelumnya mendengar percakapan tadi mencoba menenangkan Doi sambil berharap agar ia mau membuka diri. Sudah jadi kebisaan jika

Deadline dan Hujan di Ciputat

Tak seperti biasanya, hujan terus-menerus mengguyur bumi Ciputat sejak semalam. Suara azan subuh yang biasanya terdengar jelas kini hanya sayup-sayup, tak ada kokok ayam pagi itu. Semua telinga hanya mendengar rintikan hujan. Sesekali suara motor terdengar saat melintas di depan kosan.  Kedua teman saya pun terlihat masih terlelap. Ku buka handphone, tak satupun pesan maupun panggilan yang masuk, lima menit sudah saya terdiam di tempat tidur. Badan mulai menggigil, sadar bahwa faktor kedinginan pagi ini lantaran kipas angin yang masih menyala. Tanpa menunggu lama, ku raih tombol off pada batang penyangga kipas.  Saya pun masih terdiam, sadar jam sembilan harus berada di kantor, tubuh ini kupaksakan untuk melangkah. Seperti biasanya setiap bangun tidur, tempat yang pertama dituju adalah ruang depan. Tanpa basa-basi gorden yang menutupi jendela dibuka. Tujuannya hanya satu: memastikan motor tetap berada di parkiran. Maklum, harta yang paling berharga selama hidup di Ciputat selai

Membalas Cak Ibil (dari gondrong hingga selangkangan)

Menanggapi berbagai kecaman bertubi-tubi yang menimpa diri saya atas hinaan dari rekan sejawat, sudah saatnya untuk mengklarifikasi. Ah, dalam hal ini saya tidak suka dengan bahasa ‘klarifikas’ tapi meggunakan bahasa ‘membalas’. Kopi dan rokok sudah tersanding. Sory, izinkan saya memutar lagu-lagu Noah terlebih dahulu, karena akhir-akhir ini mendadak suka dengan lagu-lagu yang dibawakan Ariel cs. Bukan apa-apa, karena setelah baca buku perjalanan NOAH, ada kisah bagaimana Ariel saat di penjara menghabiskan waktunya dengan membaca pemikiran-pemikiran Bung Karno. Warbyasaa bukan? Karna separuh aakuu.. dirimu… Loh, kok keterusan nyanyi. Enaknya siapa dulu ya yang di balas?. Oke, demi mengembalikan harkat dan martabat saya di hadapan rekan sejawat khususnya para wanita, saya ingin membalas tulisannya Cak Ibil yang judul ‘ Don Jong Si Jorita ’. Tulisan Cak Ibil di blog pribadinya bagi saya terlalu subjektif, terutama soal ‘wanita’. Ada narasi sejarah yang belum terungkap dalam tulisanya.