Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2016

Menanti Kabar Buruk Setya Novanto

Jika kita ingat enam tahun silam, tepatnya pada November 2009, lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (Mahkamah Konstitusi) pernah membuat sejarah anyar bagi republik ini. Kala itu pengadilan MK yang digelar secara terbuka, memutar sebuah rekaman dugaan adanya kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Aktornya kala itu tak lain pengusaha kayu jati, Anggodo Wijoyo. Kenapa dikatakan sebagai sejarah, karena saat itulah untuk pertama kalinya sebuah institusi negara secara sadar berani transparan. Patut dipuji sebagai bagian tegaknya demokrasi di negeri ini. Dan lewat pemutaran rekaman percakapan itulah laku culas terbongkar. Kemarin, sebuah momentum yang sama kembali terulang. Meski institusinya berbeda, upaya  Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam menegakkan demokrasi patut diacungi jempol. Kasusnya hampir serupa, memutar rekaman. Sebuah percakapan dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Ketua

Petaka Kaum Terpelajar Hari Ini

Hari ini, menjadi orang terpelajar, sangat nyata bukanlah ditujukan untuk mencerdaskan dan pendidikan politik jangka panjang. Menjadi mahasiswa hari ini, sepertinya hanya kesadaran akan pentingnya melengkapi kejenuhan hidup, tuntutan untuk mendapat gelar, dan pastinya hanya mengantarkan untuk mendapat kerja. Fenomena ini semakin memperburuk kultur dialektis kampus. Orang-orang terpelajar strata satu harus lulus empat tahun, bahkan aturan terbaru harus lulus lima tahun, jika tidak, kampus akan men-drop out. Artinya, cita-cita mulia pendidikan direduksi menjadi sebatas cepat atau lamanya lulus. Inilah kemudian orang-orang terpelajar tertimpa beban berat dalam merampungkan studi. Kuliah bak kesempurnaaan bagi orang terpelajar saat ini. Dan kerja adalah pilihan terakhir pasca lulus kuliah. Dalam konteks ini, kritik Pramoedya Ananta Toer dalam sekuel tetralogi buru terhadap paradoks orang terpelajar sangat tepat. Orang terpelajar cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaima

Mahasiswa dan Perkara Lari dari Kenyataan

Ada saja pembahasan menarik soal mahasiswa hari ini. Mahasiswa seringkali memposisikan dirinya pada kekuatan atau tingkatan tertinggi. Di mana semua orang adalah objek perbincangan yang harus divonis mati. Kalau sudah dalam taraf begini, diskusi pun menjadi meroket dan mengarah pada percakapan dewa. Pengkritik adalah dewa dan objeknya sebagai rakyat jelata. Dulu, wacana-wacana ringan tentang kondisi perpolitikan di Indonesia, atau tentang kondisi pendidikan maupun kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat selalu menghiasi kampus. Mahasiswa dulu selalu menganggap pemerintah sebagai pihak yang salah. Kini, wacana-wacana mahasiswa hari ini pada fokus pada rutinitas yang dijalani. Hadirnya KPK disebut-sebut sebagai sebagai penghalang mahasiswa untuk bergerak. Penumpul kreativitas dan ideologi dalam peran mahasiswa sebagai tulang punggung bangsa. Perusak wacana yang selalu digaungkan dan diagung-agungkan oleh para aktivis. Eits.. tunggu dulu, KPK yang dimaksud bukanlah Komisi

Ketika HMI, PMII dan IMM Tak Sedahsyat Gema Pembebasan

Perlu kalian ketahui, sampai hari ini hanya ada dua gerakan yang masih konsisten dalam rangka mengkampanyekan ideologinya. Apa itu? Gema Pembebasan dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Lho, kok cuma dua saja? Kemana HMI, PMII dan IMM? “Mereka masih ada kok, hanya saja mereka terlihat absen dari percaturan wacana”. Terus terang saya sendiri bukanlah salah satu anggota dari lima organisasi pergerakan yang disebutkan di atas. Tapi jika melihat faktanya cukup kaget ketika menyaksikan organisasi macam HMI, PMII dan IMM mengalami kemandulan intelektual. Sah-sah saja jika dalam internal mereka mengelak dikatakan mengalami kemandulan intelektual dengan alasan dinamika masih terus terjadi. Namun, sebagai outsider, saya belum pernah melihatnya. Kembali ke dua organisasi yang masih konsisten tadi, sebetulnya saya lebih condong ke Gema Pembebasan. Karena saya melihat sampai hari ini mereka masih kontinyu mengampanyekan ideologi-ideologi Islamnya. Tawarannya pun sudah s

Biarlah Papua Merdeka

“Jika kalian (Indonesia) tidak mampu, izinkan kami mengurus Papua sendiri” ujar salah satu aktivis papua di bundaran HI kemarin. Ada empat hal yang menjadi tuntutan Aliansi Mahasiswa Papua kepada pemerintah, yakni memberikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua, menggantikan, menarik anggota TNI menuju dan dari Papua, serta memberikan referendum bagi warga Papua. Aksi yang dilakukan AMP mengundang banyak spekulasi bahwa klaim Jakarta yang sudah memberikan terbaik untuk Papua menjadi dagelan basi kala rakyat Papua sendiri menuntut referendum. Apa sebenarnya yang menyebabkan keinginan referendum Papua masih begitu menggelora, sementara Jakarta mengklaim sudah habis-habisan berusaha? Apa benar kesejahteraan adalah sebenar-benarnya motivasi orang asli Papua maupun OPM untuk memisahkan diri? Ya, pertanyaan itu sudah pernah dilontarkan saya kala menghadiri sebuah diskusi di Jakarta bersama beberapa aktivis Papua. Saya kira persoalan yang selama i

Kiat Ampuh Menyelesaikan Skripsi dengan Cepat

Hallo skripsiwan-skripsiwati? Apakah anda sedang mengalami kesulitan dalam mengerjakan skripsi? Saya rasa begitu. Makanya anda menyediakan waktu untuk membaca tulisan ini. Oke, skripsi itu mau nggak mau, harus dikerjakan. Bikinnya juga nggak gampang. Itu sudah menjadi derita mahasiswa akhir. Tenang, kali ini saya akan berbagi kiat untuk memecahkan persoalan skripsi anda. Ini bukan kiat yang anda bayangkan pastinya. Kiat ini belum dipublikasikan sebelumnya karena dinilai curang. Ya, namanya juga usaha, nggak ada yang salah dong membaca kiat ini. Oke, simak baik-baik. Berdoa Karena ini kiat culas, sebaiknya anda berdoa terlebih dahulu sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Niatkan kalau diri anda akan melakakun tindakan yang tidak jujur dalam mengerjakan skripsi. Kenapa begitu, biar Tuhan tahu kalau anda akan curang dengan sadar. Bukan khilaf. Semakin khusyuk doa anda semakin cepat pula melakukan kiat selanjutnya. Pergi Ke Ruang Akademik Tujuannya sederhana, hanya mema

Bela Kampus Dahulu, Bela Negara Kemudian

Apalah arti kampus kalau masih sering diteriaki toa. Sebagai mahasiswa total se total-totalnya, membela kampus jauh lebih berarti sebelum bela negara. Apalah arti membela negara kalau kampus dibiarkan sengsara. Sudah saatnya mahasiswa mendukung 100% aturan kampus. Pejabat kampus itu punya tugas mulia. Semua demi kebaikan mahasiswa. Apa buktinya, banyak. Misal, banyak akhir-akhir ini beberapa mahasiswa menuntut pihak kampus menyediakan ruang terbuka hijau lantaran banyak tempat-tempat nongkrong dijadikan lahan parkir. Bagus sih tuntutannya. Tapi, pernah nggak sih mereka (mahasiswa yang menutut) berfikir bahwa jika tidak ada lahan parkir, mau dikemanakan kendaraan-kendaraan yang dipakai mahasiswa? Mau di tempatkan seenake dewek? Lantas, kalau kampus nggak punya lahan untuk parkir, harus beli lahan lagi? Duitnya dari mana? Negara? APBN nggak cukup, mau ngutang lagi? Yakin, kalau negara ngutang lagi mahasiswa nggak demo? Yakin, kalau kampus meyediakan ruang terbuka hijau ada jamina

Lima Tipe Aktivis Kekinian

Bagi sebagian orang, label aktivis sama sekali tak bermakna apa-apa. Apalah arti sebuah nama, begitu kata Shakespare. Tapi bagi sebagian orang lagi, aktivis itu sakral, suci dan penuh dengan amanat rakyat. Aktivis mulutnya sering berbusa kala menyampaikan beribu-ribu kata dalam orasinya. Mampu berdiri di atas podium berteriak dengan lantang. Pantang mundur meski dikepung. Jiwanya selalu tersulut jika ada penindasan dimana-mana. Ah, itu dulu, sekarang aktivis udah beda. Zaman udah berubah, aktivis sekarang udah kekinian. Saking kekiniannya, penulis merangkum beberapa tipe aktivis yang dianggap kekinian. Apa saja? 1. Aktivis Facebook Facebook bagi kalangan aktivis dirasa memiliki kekuatan tersendiri. Tak perlu panas-panasan tapi punya jangkaun dan kecepatan yang luar biasa. Tipe macam ini memanfaatkan Facebook sebagai ruang buat menuangkan kritik, gagasan, cacian, rayuan atau segala bentuk apapun demi membela rakyat yang tertindas dengan harapan statusnya mendapatkan ‘like’ b

Masyarakat Terlalu Gaduh Menanggapi Website Revolusi Mental

Baru-baru ini, website www.revolusimental.go.id menjadi pergunjingan panas dikalangan masyarakat. Website yang belum lama diluncurkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani itu mendadak tidak bisa diakses. “Mohon maaf, karena antusiasme masyarakat yang begitu tinggi, server kami mengalami overload. Untuk itu, kami sedang dalam proses upgrade server. Terima kasih untuk dukungan dan partisipasinya. Salam Revolusi Mental!” tulis dalam website tersebut. Sontak, publik pun dibuat gaduh atas pemberitaan itu. Belum lagi perhatian masyarakat lebih mengerucut pada anggaran yang katanya bernilai fantastis. Ada yang menyebutkan bahwa proyek pengadaan website tersebut menelan anggaran senilai Rp149 milyar. Bahkan salah satu anggota dewan sempat berujar, ‘daripada anggarannya Rp 149 miliar hanya digunakan untuk membuat website, lebih baik perbaiki dulu menterinya’. Betul. Tapi sepertinya perkara website ini perlu dikonfirmasi ulang, Apakah meman

Nikmat Mahasiswa Akhir Mana Lagi yang Kalian Dustakan?

Secara konstitusi, Indonesia memang sudah merdeka. Namun, bagi mahasiswa semester akhir kemerdekaan itu masih omong kosong. Selama penjajahan di atas bangku kuliah belum dirampungkan, istilah kemerdekaan masih jadi angan-angan. Maka, bila ada pertanyaan kapan wisuda, itulah penjajahan gaya baru yang amat sangat menyakitkan. Kita semua sepakat, di dalam kuliah yang sehat terdapat wisuda yang tepat. Lantas apakah mahasiswa yang wisudanya telat dikatakan sakit? Tidak. Hanya saja mereka masih belum disetujuinya judul skripsi karena nunggak nilai matakuliah yang belum diganti. Atau belum menemukan dosen pembimbing yang cantic dan baik hati. Di awal seneng, di akhir menderita. Begitulah kehidupan mahasiswa tingkat akhir. Coba kalian bayangkan gimana rasanya jadi mahasiswa tingkat akhir. Semua kesenangan, berujung menjadi penderitaan. Apalagi menyandang status mahasiswa tingkat akhir kerasa banget sepinya. Mau makan, sendiri. Mau nongkrong, sendiri. Bahkan, kerja kelompok pun sendir