Setelah Tubagus Chaery Wardana jadi tersangka, panggung kekuasaan dinasti politik Ratu Atut mulai goyang. Kekuatan klan jawara yang hidup dari dana APBD Banten ini mulai dilucuti.
Wajah Hj. Ratu Atut Choisyah tersebar dari ujung ke ujung di seputaran wilayah Banten, terutama Kota Serang. Di baliho ukuran raksasa, ia menebar senyum dengan latar belakang pembangunan pusat pemerintahan provinsi Banten dan slogan “Teruskan Pembangunan Banten”.
Awalnya, tidak ada yang menyangka kalau perempuan ini bisa sebegitu hebatnya menancapkan kekuasaan politik di wilayah yang memang terkenal sebagai tanahnya jawara. Tapi, kesangsian itu kian pudar setelah Atut berhasil membangun dinasti politiknya, terutama pada kantung-kantung kekuasaan eksekutif dan legislatif di Banten. Hampir semua keluarganya masuk dan menjabat sebagai pejabat politik.
Tapi ibarat hukum alam, tidak ada sesuatu hal di dunia yang selalu abadi. Hukum itu semakin bulat saat salah satu anggota klan jawara ini, Tb Chaery Wardana alias Wawan adik kesayangan Ratu Atut itu ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis pekan lalu. Wawan, suami dari Walikota Tangsel Airin itu diambil petugas KPK dari rumah mewahnya di wilayah Jakarta Selatan karena terlibat suap terhadap Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi.
Sejak adiknya tertangkap, Ratu Atut pun mengasingkan dirinya. Sabtu siang kemarin, Yerry, anggota Satpol PP Banten mengaku sudah sejak pagi-pagi sekali nongkrong di rumah dinas Gubernurnya di Jalan Bhayangkara No 51, Cipocok Serang Banten. “Dari pagi saya sudah di sini mas. Biasa, tugas pengamanan. Tapi saya tidak tahu ibu kemana,” ujarnya. Dari balik pagar samping rumah dinas tersebut, terlihat jejeran minibus berlogo Partai Golkar yang tengah parkir. Soal minibus-minibus tersebut, Yerry mengaku tidak tahu menahu.
Kontras dengan rumah dinasnya yang sangat luas, rumah istri pertama almarhum Abah Chasan HJ. Wasiah yang merupakan ibunda Ratu Atut, di Desa Kadubereum, Ciomas Banten, terlihat biasa saja. Di halamannya pun tidak terlihat ada satu pun mobil. Seorang penjaga yang berada di pendopo dekat pagar rumah menghampiri SINDO Weekly, “Maaf pemilik rumah tidak menerima tamu,” ujarnya sambil melengos pergi.
Kendati berita miring soal Gubernur dan keluarganya tengah merebak, hal itu tidak membuat orang-orang di wilayah Ciomas ikut mencibir keluarga Atut. Seorang ibu-ibu malah mengatakan Banten bisa merdeka dari Jawa Barat atas peran keluarga besar Ratu Atut, terutama ayahnya.
Tak bisa dipungkiri, lepasnya Banten dari Provinsi Jawa Barat ada andil dari ayah Atut. Menurut sumber SINDO Weekly di Banten, geliat pembentukan Provinsi Banten itu diawali oleh tokoh-tokoh jawara dari selatan Banten (Lebak dan Pandeglang) yang bergerak ke utara (Serang, Cilegon dan Tangerang). Awal gerakan ini, Abah Chasan tidak ikut serta karena banyaknya jawara dari Selatan dan mengira kemungkinan Banten lepas dari Jawa Barat sangat tipis.
Tapi, ternyata sebagian motor gerakan dari selatan banyak yang membelot karena antar jawara di Selatan tidak sepakat soal pembagian jatah wilayah kekuasaan. Akhirnya sebagian orang sepakat menempel pada H. Chasan. Menyadari kesalahan langkahnya, H.Chasan mendirikan gerakan tandingan untuk pendirian Provinsi Banten.
Konflik saling klaim wadah resmi pembentukan Provinsi Banten terjadi. Namun gesekan mereda setelah terjadi Islah di Cilegon. Hasil Islah menghasilkan Badan Koordinasi (Bakor) Pembentukan Provinsi Banten terbentuk dengan ketua Tryana Samun. Tak ketinggalan Haji Chasan jadi pengurus inti. Setelah Provinsi Banten terbentuk, Haji Chasan memanggil keluarga besarnya yang tinggal di Bandung dipanggil untuk kembali ke Serang.
Dua tahun lewat pendirian Provinsi Banten, pemilihan Gubernur Banten pertama digelar dengan masih menggunakan sistem suara DPRD. Menurut sumber SINDO Weekly, Atut dipaksa Haji Chasan untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur, berpasangan dengan Djoko Munandar Wakil Walikota Cilegon saat itu.
Tim sukses ditebar melobi anggota DPRD. Tak lupa juga penegrahan pasukan hitam-hitam alias jawara untuk menjaga lolosnya perjanjian hasil lobi. Isu bumi hangus merebak, jika Djoko-Atut tidak terpilih. Suasana pemilihan yang sangat mencekam itu akhirnya mengantarkan Djoko-Atut sebagai pemenang.
Penggunaan jawara atau pendekar untuk memuluskan rencana keluarga besar Abah Chasan memang bukan isapan jempol. TB Delly Suhendar, Sekjen LSM Forum Pembela Kebenaran (Forpek) Nusantara yang bermarkas di Serang mengakui hal itu. “Tradisi kekuasaan politik banten dibangun dengan sistem itu, termasuk wilayah Lebak yang sekarang sedang ramai. Itu klannya jawara lama, Jaya Baya ayah dari Iti,” kata Tb. Delly.
Tradisi kekerasan, kata Tb. Delly, mencapai puncaknya saat Atut naik menjadi Gubernur, di mana seorang Sekretaris Daerah (Sekda) berinisial AM diusir oleh jawara-jawara saat sedang memancing di tempat pemancingan. “Dia ngeyel dan ngelawan Abah Chasan. Itu tahun 2005. Padahal dia juga orang asli Banten,” kata Tb. Delly.
Penggunaan jawara dalam persoalan politik lokal sempat mereda saat Abah Chasan wafat. “Nah, itu sempat hilang. Tapi beberapa bulan belakangan muncul lagi. Ini sekretariat kami baru saja diserang sama pendekar,” ujarnya. Saat SINDO Weekly menyambangi TB Dellly, sekretariat Forpek Nusantara memang masih dilingkari police line dan beberapa kaca jendelanya terlihat pecah.
Penyerangan itu buntut dari aksi demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa anggota Forpek Nusantara terhadap PT Buana Wardana Utama, perusahaan jadi-jadian milik keluarga Atut. LSM Forpek Nusantara sendiri berhasil meyakinkan BPK kalau ada penyelewengan dana Rp200 miliar oleh pemerintahan Ratu Atut via perusahaan itu.
“Wawan itu Ketua Kadin yang tidak punya perusahaan. Itu warisan dari bapaknya. Perusahaan itu dijadikan tempat pencucian uang politik dari pengemplangan dana APBD Banten, karena memang dia kasir dari dinasti itu” tegas Tb.Delly.
Soal penyelewengan anggaran di Pemprov Banten, ICW sendiri sudah melaporkannya pada pimpinan KPK pasca penangkapan Wawan. Menurut Wakil Koordinator ICW, Ade Irawan, ada dana hibah dan dana bantuan sosial yang berjumlah sekitar Rp400 miliar digelontorkan kepada lembaga-lemabaga yang tidak jelas untuk proses pemenangan Gubernur. “Bisnis dan dinasti politiknya itu dihidupi dari dana APBD Banten. Ini pola-pola warisan Orba,” pungkasnya.
Diterbitkan di Majalah SINDO Weekly Edisi 32
Comments
Post a Comment