Skip to main content

Pagi Sayang….





Kenapa aku masih memanggil kamu dengan panggilan sayang?, karena perasaanku sampai detik ini masih memendam rasa sayang. Entah sampai kapan panggilan itu bakal hilang. Entahlah…
Berat memang semua ini. Di saat hubungan ini berjalan lancar tiba-tiba mendadak tercerai-berai. Hubungan yang hampir empat bulan ini seakan sirna begitu cepat.

Sedikit demi sedikit aku mencoba untuk memahami semua ini. Hingga pada akhirnya aku menemukan sebuah kesimpulan bahwa semua yang terjadi saat ini bukanlah spontanitas, tapi memang keadaan ini sudah direncanakan. Entah direncanakan Tuhan atau mungkin direncanakan oleh makhluk ciptaannya.

Semalam, aku ingat betul apa yang kamu raikan tentang semua ini lewat telpon. Kurang lebih kamu bilang begini,

”Berat meninggalkan kamu Mas, apalagi aku sayang banget sama kamu,”.

Sejujurnya, tak ada sedikitpun rasa senang dalam ucapanmu malam itu. Karena aku meyakini bahwa apa yang kamu bilang itu hanya sebuah retorika kosong. Retorika yang keluar dari kebohongan yang sejatinya sengaja kamu utarakan hanya sekadar menghiburku.

Cobalah tengok tulisan-tulisan yang pernah kamu kirim ke aku, kamu baca ulang dengan seksama. Entah sadar atau tidak, lagi-lagi semua itu sama—hanya retorika kosong—. Tapi pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah cinta sesaat demi mengisi kekosongan hati kamu.. Kalau kamu mengelak, apa yang terjadi sekarang ini adalah jawabannya.

Aku gak mau mengungkit apa saja yang sudah aku lakukan ke kamu. Karena bagiku, ketika aku mengungkit semua pengorbanan buatmu, ujung-ujungnya rasa cinta aku hanya dilihat berdasarkan ukuran. Bagiku, cinta adalah kesempurnaan. Cinta tidak bisa diukur dari seberapa sering kita bertemu, seberapa sering kita makan bareng, maupun seberapa sering telponan.

Setelah percakapan semalam, aku juga menyimpulkan, bahwa seorang lelaki yang baik buat kamu itu adalah lelaki dari keturunan bangsawan.

“Dia keturunan bangsawan Mas, karena itu dia pasti baik dan mapan,” ujarmu malam tadi.

Lucu sih, tapi yasudahlah. Aku hanya bergeming dalam hati, sesempit itukah jalan pikiranmu? Dan buat apa juga memperdebatkan soal itu, dan pada akhirnya kamu sudah menerima lamarannya. Aku juga sadar, aku bukanlah lelaki dari keturunan bangsawan yang mapan. Toh di antara keluargamu juga ada yang bilang kalau memilih aku masa depanmu suram.

Oke, aku menghargai keputusanmu. Tapi kamu harus tahu, sebuah kebahagiaan itu bukan dilihat dari seberapa banyak harta yang dimiliki, tapi seberapa banyak rasa berserah diri dihadapan Tuhan atas rejeki yang di dapat. Sedikit atau banyak rejeki yang di dapat jika kita bersyukur akan menjadi sebuah kebahagiaan. Inilah prinsip yang masih aku pegang selama ini. Nasehat yang sebelumnya pernah terlontar dari salah seorang kyai 6 tahun silam.


Sayang…

Jujur, aku masih belum menerima semua ini. Kejadian ini hampir serupa dengan 5 tahun lalu saat aku ditinggal nikah sama seorang wanita yang dulu pernah aku cintai semasa di pesantren dulu. Aku merasakan betul beratnya mengikhlaskannya. Dan sekarang, kejadian seperti itu terulang kembali hari ini.

Padahal, sebelum ini terjadi, aku akan menceritakan semua tentang kamu kepada orang tuaku. Aku ingin meminta restu agar hubungan kita lancar hingga ke jenjang pernikahan. Dan dua minggu yang lalu sebelum ini terjadi, diam-diam aku sudah membuat asuransi pernikahan seperti yang kamu inginkan sebelumnya.

Bahkan aku rela bekerja lebih ekstra dengan menggarap beberapa proyek lain untuk menambah tabunganku. Sayangnya, semua itu sirna untuk membahagiakan kamu. Asal kamu tahu, kejadian ini membuat beberapa kerjaanku sedikit berantakan. Entah berapa banyak hal yang aku lakukan untuk melupakan semua ini. Ujung-ujungnya tetap gagal. Rasa sakit hati ini begitu berat untuk dilepas.

Lagi-lagi aku selalu bertanya dalam hati, setega itukah kamu sekarang?

Entahlah, luka hati ini masih belum pudar. Berat rasanya melupakanmu. Tapi aku yakin, salah satu cara mengikhlaskan semua ini dengan cara menjadi orang yang tidak munafik. Ketika aku merasa kangen sama kamu, aku bakal bilang kangen sama kamu. Ketika aku ingin curhat ke kamu, aku bakal bilang ingin curhat ke kamu. Meski aku yakin kamu akan menolaknya. Tapi ini akan aku lakukan hingga berada pada titik bosan.

Aku juga tidak mau melupakan kamu dengan cara membenci. Aku hanya ingin melupakanmu dengan tetap memberikan rasa kasih sayang. Aku yakin inilah cara melupakanmu yang paling baik.

Terima kasih atas semua rasa sayang yang pernah kamu berikan. Insya Allah semua ini pasti ada hikmahnya.

Terakhir,
Jika kamu berkenan dan tidak keberatan, aku ingin sekali lagi bertemu dan memelukmu secara langsung sebelum kamu benar-benar sah milik orang lain.


Ciputat, 11 Juli

Comments

Popular posts from this blog

Surat Terbuka untuk Penulis dan Pembaca Mahasiswa Bicara

Kemarin, 4 Maret 2016, kami seluruh awak Mahasiswa Bicara merayakan sebuah perayaan kecil-kecilan. Disebut perayaan kecil-kecilan karena hanya bisa menyajikan kopi, rokok dan sedikit camilan. Kami merayakan usia Mahasiswa Bicara yang baru menginjak delapan bulan. Usia yang masih segar. Sebagaimana niat awal kami, MahasiswaBicara.com hadir sebagai tempat yang didedikasikan sepenuhnya untuk anda para penulis, komunitas, dan tentu saja bagi para pembaca. Niat tulus Ibil Ar Rambany, Erika Hidayanti dan Kemal Fuadi adalah modal yang paling berharga bagi perkembangan media ini. Tidak perlu memakai teori Plato tentang idea-idea dalam meyakinkan ketiga rekan saya untuk terlibat di Mahasiswa Bicara. Cukup dengan kepedulian dan kegelisahan bersama akan hadirnya ruang bagi para mahasiswa untuk menuangkan ide sudah menjadi tawaran yang patut. Sebut saja Ibil yang saya dapuk sebagai pemimpin redaksi adalah lelaki pekerja keras. Pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini harus membagi waktu a

SBY Bapak Intoleransi

Memasuki hari-hari terakhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kelompok hak asasi Setara Institute menyoroti kegagalan dalam mempromosikan dan mempertahankan keharmonisan antara kelompok-kelompok agama di negara ini. Berdasarkan data lembaga itu, lebih dari 200 kasus yang berkaitan dengan intoleransi agama dilaporkan setiap tahun selama beberapa tahun terakhir, dan sebagian besar dari mereka tidak pernah diproses melalui jalur hukum. Laporan lain dari Wahid Institute, yang mempromosikan pluralisme dan Islam yang damai, melaporkan bahwa insiden tersebut telah meningkat selama 10 tahun masa bakti SBY. Laporan tersebut menunjukkan kasus intoleransi agama pada tahun 2012 tercatat sebesar 274, naik dari 267 pada tahun 2011 Pada tahun 2010, lembaga ini mencatat 184 kasus, sedangkan 121 kasus yang tercatat pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa SBY dianggap telah gagal untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok minoritas, seperti serangan terhadap