DPR akan membentuk Tim Pengawas Intelijen Negara. Tanpa wewenang luas mengakses operasi intelijen, pembentukan tim dinilai percuma.
SUATU saat pada tahun kedua kekuasaannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menelepon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar. Dalam percakapan dengan bos besar mata-mata itu, Presiden SBY mengatakan marah kepada seorang pembantunya, Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra. Pasalnya, Yusril dianggap menyalahgunakan izin cuti yang telah diberikan untuk mengurus masalah keluarga. Yusril malah melancong ke Singapura dan Vietnam.
Presiden SBY meminta kepada Syamsir agar mengerahkan agen BIN untuk menguntit Yusril ke luar negeri sambil sesekali menjepret aktivitas bos Partai Bulan Bintang itu. Intel kemudian pulang dan melaporkan Yusril ternyata menemui seorang pebisnis Cina di Singapura.
Kisah di atas diungkap seorang agen BIN kepada diplomat Amerika Serikat (AS). Diplomat itu lalu mengemasnya menjadi gosip politik tingkat tinggi yang dikirim melalui kawat ke bosnya di Washington. Celakanya, kawat itu bocor ke situs WikiLeaks. Cerita itu kemudian sempat membuat gaduh politik di Jakarta setelah harian Australia, The Age, menuliskannya dalam sebuah laporan pada awal 2011. Yusril, korban penguntitan, pernah mencoba mencari tahu kebenaran cerita itu kepada Syamsir. “Dia (Syamsir) tertawa, tetapi menolak mengonfirmasi atau membantah cerita itu,” kata Yusril.
Jika benar, cerita itu menunjukkan bahwa intelijen menjadi satu-satunya lembaga keamanan yang belum tersentuh gelombang reformasi. Alih-alih mengabdi pada kepentingan keamanan negara, BIN malah cawe-cawe dalam urusan “kegenitan” seorang presiden kepada menteri seniornya sendiri.
Cerita soal pengintilan Yusril bukan satu-satunya indikasi keberadaan “serigala nakal” di tubuh intelijen. WikiLeaks, misalnya, juga memuat kawat yang menyebut BIN sudah terbiasa mendanai gerakan-gerakan radikal seperti Front Pembela Islam. Bahkan, gosip lain bercerita tentang bagaimana BIN ikut mendanai Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang didirikan oleh eks gembong kelompok radikal Jamaah Islamiyah, Abu Bakar Baasyir.
Semua cerita itu berhenti hanya sebagai gosip. Bahkan, tanpa bocoran WikiLeaks, publik mungkin tak pernah tahu operasi intelijen bisa begitu rawan penyimpangan. Satu-satunya skandal intelijen yang sempat mencuat adalah pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, sepuluh tahun lalu. Kasus ini sempat membawa Muchdi Purwoprandjono, pejabat teras BIN, ke kursi terdakwa meski kemudian dia dibebaskan.
Komisi I DPR yang bertugas mengawasi kerja intelijen selama ini juga tak cukup sakti mengendus dan mempertanyakan penyimpangan intelijen. Seorang bekas anggota Komisi I, misalnya, mengaku kerap kecewa dengan laporan BIN dalam rapat-rapat kerja. Meski rapat sudah dilakukan tertutup dan dokumen diberi cap kategori rahasia, BIN tetap ogah-ogahan membuka diri. “Isi laporannya mirip kliping koran,” kata sumber itu, anggota Komisi I periode 2004–2009, yang tak ingin namanya dikutip.
Harus Siap Dikuliti
Akan tetapi, masa-masa serba tertutup seperti itu bisa jadi akan segera berakhir. Kamis pekan lalu, Komisi I mengabarkan akan segera membentuk Tim Intelijen Negara. Tim ini merupakan perintah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Ia akan mengawasi kerja semua lembaga intelijen yang ada, baik sipil maupun militer. Tim akan diisi oleh 13 anggota Komisi I yang mewakili tiap-tiap fraksi. Tim juga akan bersumpah untuk menjaga setiap informasi terkait operasi intelijen yang masuk kategori rahasia negara.
Jika Tim Pengawas ini nanti benar-benar terbentuk, intelijen harus siap “dikuliti” oleh politikus Senayan. Ketua Komisi I, Mahfudz Siddiq, memastikan Tim Pengawas berwenang menginvestigasi operasi intelijen yang disalahgunakan. “Tim ini juga punya kewenangan mengusulkan proses hukum bila ada dugaan tindak pidana penyalahgunaan kewenangan intelijen,” katanya.
Kolega Mahfudz di Komisi I, Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati, sedikit berhati-hati mengomentari wewenang Tim Pengawas. Dia mengatakan tak semua informasi intelijen bisa diakses tim tersebut. Sebab, operasi klandestin yang dilakukan intelijen meniscayakan improvisasi yang tak bisa diukur dalam standar normal oleh Tim Pengawas. “Terlebih, anggota tim berasal dari beragam latar belakang dan pengalaman,” katanya. Dia juga mengingatkan sumpah anggota tim untuk menutup rapat informasi rahasia. “Harus ada sanksi bagi anggota yang melanggar.”
Sebaliknya, pengamat intelijen, Al Araf , justru mendesak agar tim memiliki wewenang luas mengakses segala tetek bengek intelijen. Dia mencontohkan Subkomite Intelijen di Senat AS yang sangat ditakuti kalangan intelijen negara itu. Subkomite Intelijen itu bisa mengetahui semua operasi rahasia intelijen dan meminta pertanggungjawaban bos intelijen jika operasi itu menyimpang dari tujuan semula. “Kalau tidak punya wewenang itu, ya, percuma,” katanya.
Agar Tak Lagi Disebut “Intel Melayu”
SUASANA malam minggu, 19 Oktober tahun lalu, bisa jadi menjadi momen bersejarah bagi Badan Intelijen Negara (BIN). Puluhan wartawan berkerumun di lobi utama Kompleks Ksatrian Soekarno-Hatta, sebutan agen BIN untuk kantor mereka di Jalan Seno Raya, Pejaten Timur, Pasar Minggu. Mungkin inilah kali pertama media diberi akses ke dalam kompleks yang dikelilingi tingginya pagar besi dan ditutupi rimbunnya pohon bambu. Ketika itu, Marciano Norman selaku Kepala BIN yang langsung menghadapi para juru warta.
Di bawah kepemimpinan Marciano, BIN memang berupaya membuka diri. Situs BIN dirombak menjadi lebih menarik dan informatif. Tak segan-segan, BIN pun beriklan di media saat membuka lowongan kerja sebagai agen dan analis. Sejak 2004, BIN juga sudah memiliki Sekolah Tinggi Intelijen Negara. Sekolah ini secara terbuka menerima siswa dari beragam latar belakang. Setiap tahun, sekolah di Sentul, Bogor, Jawa Barat, itu memasok 30–40 lulusan bagi BIN.
Terkait struktur, Marciano menambah satu deputi, yakni Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi. Tugas utama deputi baru itu jelas memoles citra BIN agar tak lagi dipandang angker, misterius, dan sarat kekerasan, terutama karena rekam jejaknya selama Orde Baru. BIN juga ingin menghilangkan sinisme terhadap kemampuan mereka yang tergambar dalam ungkapan “intel melayu”.
Anggota Komisi I DPR, Susaningtyas Kertapati, meminta BIN fokus meningkatkan kemampuan agen di kantor-kantor BIN di daerah. “Mereka ujung tombak deteksi dini.” Sementara itu, Direktur Progam Imparsial, Al-Araf, mengusulkan perombakan besar-besaran dalam personel BIN. Dia meminta BIN dimurnikan menjadi lembaga sipil. Konsekuensinya, tentara aktif tak lagi bisa menjadi agen BIN kecuali pensiun dari dinas militer. Jika ini dilakukan, BIN akan menjadi institusi intelijen dengan prestise istimewa. “Pemerintahan baru juga harus menunjuk orang sipil sebagai Kepala BIN.”
Comments
Post a Comment