Menanggapi berbagai kecaman bertubi-tubi yang menimpa diri saya atas hinaan dari rekan sejawat, sudah saatnya untuk mengklarifikasi. Ah, dalam hal ini saya tidak suka dengan bahasa ‘klarifikas’ tapi meggunakan bahasa ‘membalas’. Kopi dan rokok sudah tersanding. Sory, izinkan saya memutar lagu-lagu Noah terlebih dahulu, karena akhir-akhir ini mendadak suka dengan lagu-lagu yang dibawakan Ariel cs. Bukan apa-apa, karena setelah baca buku perjalanan NOAH, ada kisah bagaimana Ariel saat di penjara menghabiskan waktunya dengan membaca pemikiran-pemikiran Bung Karno. Warbyasaa bukan? Karna separuh aakuu.. dirimu… Loh, kok keterusan nyanyi.
Enaknya siapa dulu ya yang di balas?. Oke, demi mengembalikan harkat dan martabat saya di hadapan rekan sejawat khususnya para wanita, saya ingin membalas tulisannya Cak Ibil yang judul ‘Don Jong Si Jorita’. Tulisan Cak Ibil di blog pribadinya bagi saya terlalu subjektif, terutama soal ‘wanita’. Ada narasi sejarah yang belum terungkap dalam tulisanya. Saya menyepakati bahwa Cak Ibil bukan penulis sejarah yang baik.
Kalau Arman Dhani menulis di salah satu website Mojok[dot]co soal ‘Membela Kak Jonru’ kali ini saya akan menulis soal ‘Membalas Cak Ibil’.
Cak Ibil, begitu pede ia menyebut dirinya. Tak tahu apa yang mendasarinya dengan sebutan Cak Ibil, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu. Asumsi saya kenapa ia menyebut dirinya Cak Ibil, karna ia tak pede dengan nama yang disematkan oleh orang tuanya. Atau karna ia yakin bahwa dirinya ataupun pemikirannya setara dengan Cak Nur, Cak Nun atau Cak, Cak lainya. Atau jangan-jangan, Cak yang di maksud hanya ingin mengangkat popularitasnya saja. Maklum ini bagian dari pencitraan yang sengaja ia bangun untuk menaikan popularitasnya agar terpilih kembali sebagai ketua umum LPM INSTITUT.
Mungkin para pembaca agak risih ketika Cak Ibil disetarakan dengan Cak Nur ataupun Cak Nun. Memang seperti itu… Saya pun risih mendengarnya, jangankan disamakan pemikirannya, membaca buku aja ia jarang. Ada satu buku yang saya ingat dan melihatnya langsung saat ia membacanya. Buku itu judulnya ‘Dilarang Gondrong’ penerbitnya Marjin Kiri. Satu kalimat yang persis masih saya ingat saat ia membaca buku itu.
“Buku ini, gue banget bang…,” katanya.
Saya pun sontak, “Serius Cak?,” tanya saya lagi.
“Iyalah, secara gitu, rambut gue gondrong, celana gue robek, sama kan yang di maksud buku ini? Pas baca buku ini, ruhnya dapet bang,” jawabnya.
Kurang lebih begitu percakapan saya dengan dia. Padahal dalam hati saya, asu lu Cak!. Sempat ia mengajak saya dan rekan-rekan untuk berdiskusi soal buku itu. Namun, ajakan diskusinya gagal lantaran tak ada yang datang. Tapi paling tidak saya patut memberikan apresiasi karena ada usaha untuk membacanya.
Ngomong-ngomong soal wanita, katanya saya matang di konsep tapi lemah dalam eksekusi. Biarlah, itu hanya subjektif dia tapi sejatinya saya lebih berpengalaman soal wanita. Sekelas Ronald Frank saja yang kini terkenal dengan sebutan motivator cinta pernah mengalami kegagalan dalam mengeksekusi wanita. Apalagi saya. “Aku mah apa atuh….”.
Jangan sok-sok menasehati saya soal wanita. Buktinya dikau miskin soal pengalaman wanita. Andai saja kita bersaing Cak, jelaslah saya lebih unggul segala hal, ketimbang kau hanya bermodal rambut gondrong dan celana robek. Tak perlu buktilah, jelas-jelas kau selalu penasaran saat pacarmu invite BBM saya. Tiap ketemu dan BBM saya bunyi kau selalu penasaran berharap bukan BBM dia yang masuk.
Santai Cak, saya bukan tipikal merebut pacar orang. Tapi dengan kecurigan atas pesan-pesan BBM dari pacarmu menjadi bukti bahwa kau takut tersaingi. Jangan sok-sok pamer ke saya kalau dirimu sedang mendekati wanita lain yang notabene satu alumni pesantren. Tapi percayalah Cak, ada silogisme begini:
Premis 1: Cak Ibil itu gondrong
Premis 2: Semua orang gondrong itu ganteng
Kesimpulan: Cak Ibil pasti ganteng
Selesaikan dulu permasalahan dengan pacarmu Cak, kalau putus, ya putus dengan baik-baik. Karena di dalam hubungan mantan yang baik akan mendapat pacar yang baik pula.
So, jangan lihat diri saya sebagai Jorita atau Jomblo menderita. Tan Malaka juga jomblo. Karena saya sendiri menempatkan posisi wanita di urutan ketiga: pertama, membahagiakan orang tua, kedua menjalankan Pancasila dan yang ketiga wnita. Jika poin pertama dan kedua sudah dilaksanakan, wanita dan mertua yang baik pasti mau menerima.
Tak ada alasan lagi tangan kiri memegang rokok, tangan kanan memengang segelas kopi dan jodoh masih di tangan Tuhan.
Macondo,
8 Januari 2015
Comments
Post a Comment