“Aku bukanlah siapa-siapa, serpihan dongeng ini pun bukanlah apa-apa. Sekadar reuni… veteran serdadu kampus di lorong sunyi kehidupan,”.
Begitu kira-kira Amran Razak memulai kalimat dalam bukunya yang berjudul Demonstran dari Lorong Kambing. Buku ini seolah membenarkan ungkapan filosofis; setialah pada peristiwa. Bagi orang awam, mungkin menganggap sebuah peristiwa adalah peristiwa, tak lebih dari itu. Namun, bagi orang sensitif, peristiwa merupakan momen yang membentuk sebuah kisah. Tanpa peristiwa dan tanpa kisah, seseorang bukanlah apa-apa dan mungkin bukan siapa-siapa.
Amran Razak, si empunya peristiwa dan si pemilik kisah merupakan pribadi yang sensitif. Ia mampu mengekspresikan ingatan puluhan tahun dengan cara yang paling rinci. Sosok yang hadir di momen-momen kritikal di antara dunia kekuasaan dan dunia kampus, di antara idealisme mahasiswa Universitas Hasanuddin dan kekuasaan Orde Baru.
Di sinilah pengalaman daya kritis Amran tergambar antara binal dan banal. Binal karena memang pengalaman Amran yang penuh dengan kejutan, dan banal karena aksinya sering tak terduga. Inilah yang menguatkan gaya tulisan Amran. Ia mampu meramu pengalaman hidupnya menjadi sebuah tulisan yang apik.
Kisah Amran bermula pada tahun 1977. Amran saat itu sudah tak takut lagi bersinggungan dengan polantas, melawan atas modus operandi tilang-pungli-jebakan Batman di sudut-sudut jalan. Hingga lahirlah sebuah plesetan yang berbunyi ‘polisi makan tilang, tentara makan tulang’.
Memang sudah watak Amran sebagai seorang demonstran. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pernah diusir oleh Amran dan rekan-rekannya dari Makassar. Alhasil, Daoed Joesoef pun meninggalkan Makassar tanpa menginjakkan kakinya di Kampus Unhas (Hal;118). Pun, aneka-ragam penolakan Amran Razak dan rekan-rekannya atas produk-produk Orde Baru, seperti menolak NKK/BKK, penataran P-4, award Bapak Pembangunan Nasional kepada Soeharto.
Salah satu kisah yang menarik dari buku ini ketika mobil dinas Walikota Ujung Pandang dibakar oleh demonstran. Tak hanya mobil walikota, mobil Rektor UNHAS pun kena batunya. Hal ini merupakan buntut kemarahan mahasiswa atas penyerbuan yang dilakukan oleh militer. Lagi-lagi, Amran lah dalngnya, sekaligus pelanggan setia bui militer pada eranya.
Inilah kisah kali pertama orang-orang berseragam loreng masuk Kampus (1982) tepatnya di era Prof.Dr.Ahmad Amiruddin, sekaligus di penghujung masa jabatannya sebagai rektor. Amran sangat geram atas pengepungan Kampus Unhas oleh militer yang diarsiteki Jakarta yang menjadi ‘peristiwa nasional’ kala itu (Hal;252).
Dalam buku ini juga menggambarkan Amran sebagai sosok aktifis yang cerdik sekaligus konyol. Betapa tidak, Amran adalah sosok yang Anti-Cina, sentimen negatif Amran atas tragedi Toko La’. Amran begitu geram saat pemilik toko terkenal itu memerkosa pembantunya. Inilah letupan awal peristiwa ‘Pengganyangan Cina’ di Makassar (1980). Amran tak memandang etnik, ia hanya terpanggang oleh bara kesenjangan antara pribumi-non pribumi, keduanya hanyalah korban kebijakan penguasa.
Amran menceritakan bagaimana dirinya merasa tidak tega membiarkan etnik Tionghoa di atas awan seorang diri, sedang orang pribumi dilembahkan. Amran rindukan equilibrium. Sekaligus mendidik etnik Tionghoa agar tiadak congkak, ekslusif dan manja akan fasilitas penguasa. Kesalahan Amran saat itu melakukan tindakan kriminal. Amran berlirih dalam hatinya, andai orang-orang pribumi diistimewakan penguasa, pasti dirinya tak akan sebrutal itu (Hal; 144).
Itulah secercah kisah heroik seorang Amran yang dirangkum dalam sebuah sajian buku. Kisah yang diulas dan mengulas dirinya bak sebuah dongeng. Tiap lembarnya, ratusan kata ‘Aku’ menguntit pada buku terbitan Kakilangit Kencana itu. Buku ini sarat emosional, penuh pergolakan batin, walau harus bersua dengan timah panas, moncong senjata berlaras panjang, ancaman jiwa.
Amran mengalami betul getirnya sebagai seorang demonstran. Hingga pembaca merasa masuk dalam ending peristiwa demi peristiwa. ‘Tak mudah menjadi demonstran di zaman serba kekangan ala Pak Harto’. Itulah kutipan pesan yang disampaikan Amran, si Anak Lorong Kambing di bilangan Baraya.
Menikmati buku ini harus pelan-pelan, bila ada kopi nikmati dulu kopinya, karena buku itu menghadirkan racikan psikologik, representasi perasaan dan kelukaan. Amran itu sosok unik dan terkadang beruntung. Dikisahkan dalam buku itu saat di pengasingan, Amran sangat mujur bisa memantau detik-detik menegangkan, ia mendengar dengan jelas pembicaraan tentara penyerbu via Handy Talkie (HT) yang frekuensinya bocor ke TV hitam-putih di rumah sahabatnya.
Buku ini sangat menarik sebagai refleksi bagi mahasiswa yang sering melakukan demonstrasi. Tidak heran jika Guru Besar Unhas S.M Noor berceloteh: “Jika ada manusia yang tidak bisa dilupakan oleh Prof. A. Amiruddin, maka Amran-lah orangnya. Manusia ini bahkan dapat dikatakan manusia paling liar dalam sejarah kerektoran Prof. A. Aminuddin pada kurun waktu dua perioden di Unhas”.
Buku ini menjadi sajian yang fashionable di atas konteks peristiwa dan kisah. Namun, lagi-lagi buku Demonstran dari Lorong Kambing hanyalah kisah sosok-sosok pejalan. Amran adalah pejalan. Bersama sahabat-sahabatnya ia merefleksi zaman yang dijalaninya, baik beraroma manis maupun pahit. Tak ada peristiwa, tak ada kisah.
- Judul : Demonstran dari Lorong Kambing
- Penulis : Amran Razak
- Penerbit : Kakilangit Kencana
- Halaman : 292 hlm
- Terbit : Januari 2015
Comments
Post a Comment