Skip to main content

Mari Ramaikan Dinding Selfie dan Biarkan Toilet yang Tak Lagi Suci



Kalau Anda berkunjung ke UIN Jakarta, bersiap-siaplah mendapatkan ajakan untuk berfoto di dinding selfie yang disediakan pihak kampus. Loh, kok bisa? Jangan salah, kegembiraan warga kampus akhir-akhir ini meningkat sekian persen gara-gara salah satu sudut dinding kampus disulap menjadi tempat foto yang tidak kalah menarik.
Berfoto di dinding ini ibarat sebuah gerakan revolusioner baru yang menghendaki warga kampus atas hak berekspresi. Siapapun bebas berfoto dengan gaya apapun tanpa ada regulasi yang mengatur. Untuk urusan berfoto di dinding ini, rektor, presiden bahkan agama sekalipun tidak bisa mengintervensinya.
Berfoto itu memang bikin ketagihan, orang lain yang melihatnya pasti penasaran. Itulah ideologi narsisme yang selama ini mereka banggakan. Kedahsyatan berfoto di dinding ini jauh melebihi konsep kapitalisme, sosialisme, nasionalisme, apalagi komunisme. Luar biasa kan?
Modal untuk narsis di dinding ini sangat murah, Anda tak perlu dandan berjam-jam atau mempersiapkan beberapa pakaian agar bisa tampil prima saat berfoto. Muka amburadul, pakaian kusut atau gigi tonggos pun diperbolehkan untuk berfoto. Tentu saja usai berfoto tak ada larangan untuk meng-upload ke media sosial. Dan saya pastikan foto Anda akan mendapatkan like/love. Bahkan saat Anda melakukan live streaming dengan muka ala kadarnya, tak ada yang melarang.
Tapi kok lama kelamaan saya muak melihatnya, tiap kali lewat area itu ada aja mahasiswi-mahasiswi alay, dengan gaya fotonya yang kadang aneh-aneh. Ini kampus apa arena fashion show? Aktivitas fotonya seakan tak terkendali. Pemanfaatan ruang atas kebebasan yang ada selama ini semakin tidak karuan. Kebebasan yang berujung pada kebablasan.
Saya justru kepikiran kabar kondisi tempat wudu dan toilet masjid di Student Center. Kontradiktif banget, yang satu kondisinya ciamik, yang satunya amit-amit. Bagaimana masjid dianggap suci kalo tempat wudu dan toiletnya saja jorok. Duh ya, padahal orang luar masih menganggap pejabat UIN itu pinter-pinter dalam menangani urusan agama. Apalagi urusan Bab Suci. Pasti banyak yang khatam.
Sekelumit pertanyaan pun muncul, kenapa seorang kabag umum lebih mementingkan pembangunan dinding foto ketimbang membenahi tempat wudu masjid? Bagaimana memastikan setiap kaki yang mau menginjak masjid benar-benar suci sedangkan toiletnya saja terlihat jorok.
Untung saja saya bukan bagian dari kelompok yang mudah mengkafir-kafirkan orang. Tenang saja, selemah lemahnya iman, saya tidak akan menyebut pejabat kampus dengan sebutan kafir. Meski hal ini jelas-jelas menyangkut urusan kesucian dalam beribadah. Atau jangan-jangan pejabat kampus ini belum pernah wudu di masjid.
Ah, mentok-mentong paling alibi pihak kampus karena tersendat anggaran. Duh Pak, yang begini aja luput untuk dipikirkan. Saya punya tawaran solusi, kalau memang benar kampus tak punya anggaran, kita patungan saja. Anggap aja masing-masing mahasiswa patungan Rp1000, dosen dan pejabat lainnya Rp20.000. Kita perkirakan jumlah mahasiswanya sekitar 15.000. berarti dari mahasiswa akan akan terkumpul Rp15.000.000 (Rp1000x15.000).
Kita perkirakan dari dosen dan pejabat lainnya ada sekitar 1000. Berarti akan tekumpul Rp20.000.000 (Rp20.000×1000). Jika digabungkan hasil patungan dari mahasiswa, dosen dan pejabat lainnya, maka total patungan yang didapat sebesar Rp35.000.000. Kita genapkan saja menjadi Rp40.000.000 karena enggak mungkin rektor dan para wakilnya cuma nyumbang Rp20.000 saja.
Coba bayangkan dana 40 juta untuk memperbaiki tempat wudu dan toilet masjid Student Center. Bisa mencukupi. Ya kalau kurang tinggal tambahin saja patungannya, apalagi untuk urusan kesucian beribadah.
Masa sih cara tadi harus dilakukan? Kampus sebesar ini untuk memperbaiki tempat wudu dan toilet masjid saja harus patungan. Tapi kalau kampus lebih mementingkan pembangunan tembok selfie ya apa boleh buat, mari sama-sama kita ramaikan dinding selfie dan biarkan tempat wudu yang tak lagi suci. 
Tulisan ini pertama kali dimuat di MahasiswaBicara.ID

Comments

  1. Dinding selfie dibuat cantik, toilet masjid dibuat seadanya yang penting ada. Seperti manusia yang dandan cantik wangi tapi gak mandi dan gak sikat gigi seminggu lamanya. Baru mandi dan sikat gigi kalau bau tubuhnya sudah dikomentari banyak orang yang dianggap punya posisi. Miris, padahal UIN.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SBY Bapak Intoleransi

Memasuki hari-hari terakhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kelompok hak asasi Setara Institute menyoroti kegagalan dalam mempromosikan dan mempertahankan keharmonisan antara kelompok-kelompok agama di negara ini. Berdasarkan data lembaga itu, lebih dari 200 kasus yang berkaitan dengan intoleransi agama dilaporkan setiap tahun selama beberapa tahun terakhir, dan sebagian besar dari mereka tidak pernah diproses melalui jalur hukum. Laporan lain dari Wahid Institute, yang mempromosikan pluralisme dan Islam yang damai, melaporkan bahwa insiden tersebut telah meningkat selama 10 tahun masa bakti SBY. Laporan tersebut menunjukkan kasus intoleransi agama pada tahun 2012 tercatat sebesar 274, naik dari 267 pada tahun 2011 Pada tahun 2010, lembaga ini mencatat 184 kasus, sedangkan 121 kasus yang tercatat pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa SBY dianggap telah gagal untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok minoritas, seperti serangan terhadap

Mahasiswa dan Perkara Lari dari Kenyataan

Ada saja pembahasan menarik soal mahasiswa hari ini. Mahasiswa seringkali memposisikan dirinya pada kekuatan atau tingkatan tertinggi. Di mana semua orang adalah objek perbincangan yang harus divonis mati. Kalau sudah dalam taraf begini, diskusi pun menjadi meroket dan mengarah pada percakapan dewa. Pengkritik adalah dewa dan objeknya sebagai rakyat jelata. Dulu, wacana-wacana ringan tentang kondisi perpolitikan di Indonesia, atau tentang kondisi pendidikan maupun kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat selalu menghiasi kampus. Mahasiswa dulu selalu menganggap pemerintah sebagai pihak yang salah. Kini, wacana-wacana mahasiswa hari ini pada fokus pada rutinitas yang dijalani. Hadirnya KPK disebut-sebut sebagai sebagai penghalang mahasiswa untuk bergerak. Penumpul kreativitas dan ideologi dalam peran mahasiswa sebagai tulang punggung bangsa. Perusak wacana yang selalu digaungkan dan diagung-agungkan oleh para aktivis. Eits.. tunggu dulu, KPK yang dimaksud bukanlah Komisi

Surat Terbuka untuk Penulis dan Pembaca Mahasiswa Bicara

Kemarin, 4 Maret 2016, kami seluruh awak Mahasiswa Bicara merayakan sebuah perayaan kecil-kecilan. Disebut perayaan kecil-kecilan karena hanya bisa menyajikan kopi, rokok dan sedikit camilan. Kami merayakan usia Mahasiswa Bicara yang baru menginjak delapan bulan. Usia yang masih segar. Sebagaimana niat awal kami, MahasiswaBicara.com hadir sebagai tempat yang didedikasikan sepenuhnya untuk anda para penulis, komunitas, dan tentu saja bagi para pembaca. Niat tulus Ibil Ar Rambany, Erika Hidayanti dan Kemal Fuadi adalah modal yang paling berharga bagi perkembangan media ini. Tidak perlu memakai teori Plato tentang idea-idea dalam meyakinkan ketiga rekan saya untuk terlibat di Mahasiswa Bicara. Cukup dengan kepedulian dan kegelisahan bersama akan hadirnya ruang bagi para mahasiswa untuk menuangkan ide sudah menjadi tawaran yang patut. Sebut saja Ibil yang saya dapuk sebagai pemimpin redaksi adalah lelaki pekerja keras. Pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini harus membagi waktu a