Ada saja pembahasan menarik soal mahasiswa hari ini. Mahasiswa seringkali memposisikan dirinya pada kekuatan atau tingkatan tertinggi. Di mana semua orang adalah objek perbincangan yang harus divonis mati. Kalau sudah dalam taraf begini, diskusi pun menjadi meroket dan mengarah pada percakapan dewa. Pengkritik adalah dewa dan objeknya sebagai rakyat jelata.
Dulu, wacana-wacana ringan tentang kondisi perpolitikan di Indonesia, atau tentang kondisi pendidikan maupun kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat selalu menghiasi kampus. Mahasiswa dulu selalu menganggap pemerintah sebagai pihak yang salah.
Kini, wacana-wacana mahasiswa hari ini pada fokus pada rutinitas yang dijalani. Hadirnya KPK disebut-sebut sebagai sebagai penghalang mahasiswa untuk bergerak. Penumpul kreativitas dan ideologi dalam peran mahasiswa sebagai tulang punggung bangsa. Perusak wacana yang selalu digaungkan dan diagung-agungkan oleh para aktivis.
Eits.. tunggu dulu, KPK yang dimaksud bukanlah Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK yang penulis maksud merujuk pada tempat yakni Kuliah, Perpustakaan, dan Kos. Ya, ketiga tempat itu dianggap telah menumpulkan kepekaan mahasiswa dalam melihat fenomena yang bersifat global. Padahal, mahasiswa sejatinya adalah seorang agen of change, iron stock atau apalah istilah-istilah keren lainnya.
Ya, sesuai dengan kodratnya, mahasiswa memiliki tugas besar. Agenda mahasiswa terangkum dalam satu kesatuan tugas yang disebut ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’. Di dalamnya mencakup aspek-aspek penting yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Tidak boleh dipisah-pisahkan karena memang itulah tugas berat seorang mahasiswa. Hanya saja, terkadang mahasiswa hanya mementingkan satu hal saja yaitu pendidikan. Indikatornya adalah IPK yang tinggi, konsentrasi pada bidang keahlian yang dipilih dan alergi dengan yang namanya organisasi.
Memang sih, hidup adalah pilihan, dan tak ada seorang pun boleh memaksakan kehendak seseorang. Maklum, di jaman yang mengenal Avenger ini tak sopan jika masih mengidolakan Gundala Putra Petir. Kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan yang mengubah peta konsep tentang hak, tugas dan kewajiban seorang mahasiswa.
Tetapi, dengan organisasi bukankah bisa mengubah pandangan tentang diri kita sendiri, kampus kita, almamater kita, wilayah kita, maupun bangsa kita hingga dunia yang kita tinggali.
Belajar itu tidak hanya semata-mata dengan buku, mendengarkan ceramah dosen dan tidur di kos. Bandingkan saja, waktu yang kita miliki ini antara waktu luang dengan waktu kuliah. Sehari mungkin Cuma satu sampai tiga mata kuliah. Artinya, jika dimulai pagi hari, maka waktu pulang maksimal adalah jam satu siang.
Nah, bukankah banyak waktu yang masih tersisa? Jika dipotong waktu untuk mengerjakan tugas, maka masih ada waktu seorang mahasiswa lebih dari cukup untuk melakukan aktivitas apa saja di luar perkuliahan.
Duduk di kelas, mempersiapkan makalah, mendengarkan ocehan dosen dan ujung-ujungnya jika dosennya sibuk, pasti pulang lebih cepat. Iklim diskusi di kelas juga masih sangat kurang. Diskusi di kampus masih belum mendarah daging, baru sebatas paksaan karena nilai. Menjawab karena nilai, bertanya karena nilai, tersenyum karena nilai, hingga sekadar disuruh membersihkan papan tulis pun tidak mau jika tak ada poin tambah nilainya.
Kalau kita perhatikan, mahasiswa kini sedang masuk dalam era pragmatisme. Nilai telah menjadi momok mematikan yang berwujud angka-angka. Tentu saja tidak ada asap kalau tidak ada sumber apinya. Kita bisa dengan segera menebaknya. Mungkin dari pelaksanaan pendidikan para mahasiswa saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas, menengah pertama, sekolah dasar, taman kanak-kanak atau bahkan saat masih play group.
Dari dulu sampai sekarang, pendidikan masih berorientasi pada nilai. Meskipun guru sudah mati-matian untuk memisahkan nilai dengan kesadaran untuk melakukan, pada kenyataannya usaha itu belum begitu terlihat hasilnya.
Kita tahu sendiri bahwa setiap kepala anak itu sudah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Maksud hati memeluk wanita, tetapi orang lain belum tentu mengatakan bahwa yang dipeluk itu wanita. Mungkin hanya lelaki teman sekosannya.
Jika sudah begini, siapa yang mau kita salahkan? Jawabannya tak ada yang patut kita salahkan. Hanya saja ada sesuatu yang hilang dari mahasiswa yaitu keteladanan. Keteladanan, ya, memang keteladanan. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun keteladanan ini seringkali menjadi sebuah barang yang langka. Banyak orang berkata baik-baik, tetapi pada kenyatannya, dia melakukan hal yang sebaliknya.
Dalam hal ini, perpustakaan menjadi sebuah tempat pelarian dari segala sumber permasalahan. Mahasiswa sudah tidak tertarik membicarakan hal-hal yang luar biasa. Tidak mau repot-repot mengurusi hal-hal yang berat. Kos adalah pelarian mahasiswa dari segala bentuk penggemblengan, bisa menjadi tempat mahasiswa menumpulkan pikirannya. Menjauh dari budaya akademis, mendekati sebuah pemikiran yang picik, pergaulan bebas, bahkan pergaulan yang tidak sehat.
Dengan kondisi yang telah berbeda, sudah seharusnya seorang mahasiswa mengkonkritkan perannya. Kontribusi tidak diukur dari seberapa pedulinya mahasiswa terhadap fenomena sosial, tetapi dari bagaimana menemukan cara untuk mengatasi masalah-masalah sosial.
Bagi yang menamakan dirinya sebagai aktivis, aksi anarki tidak selalu memecahkan masalah, tetapi malah menambah masalah. Sudah menjadi tuntutan bahwa dengan intelektualitasnya, mahasiswa dapat memecahkan masalah dengan rasio ilmiah. Bukan mengedepankan emosi sebagai landasan utama langkah gerak.
(Dipublikasikan di Mahasiswa Bicara)
Comments
Post a Comment