Skip to main content

Antara Amplop, Hotel, dan Singkong Rebus




Ada pihak yang mendukung, memprotes, dan terjebak dilemasetelah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengeluarkan surat edaran hidupsederhana untuk kalangan birokrasi.

SUATU hari pada akhir November silam, Arief Syaiful, seorangpegawai negeri sipil di Sekretariat Negara, seperti tersedak saat membaca suratedaran dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,Yuddy Chrisnandi, tentang anjuran hidup sederhana. Dia merasa ada yang tidakberes pada salah satu poin yang mengatur pembatasan jumlah undangan resepsipernikahan, tasyakur, dan acara sejenis lainnya untuk kalangan pegawai negeri.Tak tanggung-tanggung, beleid mematok undangan maksimal cuma 400 undangan.

Dia ingin mengkritik surat itu. Muncullah idenya untukmenuliskan surat terbuka kepada Sang Menteri di media sosial. Sepulang kerja,Arief mulai membuka laptop. Kata demi kata ia rangkai hingga membentuk sebuahsurat. Dalam surat itu, dia menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak perlumencampuri urusan pribadi seseorang, apalagi urusan tersebut tidak menggunakanuang negara. “Soal pernikahan itu sudah menjadi ranah privasi, pemerintah tidakboleh ikut campur, apalagi pernikahan menggunakan uang pribadi,” katanya kepadaSINDO Weekly, Jumat pekan lalu.

Arief bilang, kritiknya sama sekali tidak bermaksud untukmelawan atau membangkang. Justru, katanya, itu wujud kepeduliannya agarparadigma pemerintah dalam membangun tetap memerhatikan batas-batas privasipegawai negeri. “Revolusi mental bukanlah hanya upaya mengubah mentalitasindividu, tetapi mengubah mentalitas pemerintah yang masih mencampuri urusanpribadi.”

Menanggapi surat yang dilayangkan Arief, Menteri Yuddy punangkat bicara. Dia bilang, sudah jadi risiko seorang pejabat untuk mau hidupsederhana. Perihal surat edaran, katanya, merupakan produk administrasipemerintahan dan bagian dari tugas kedinasan yang wajib dilaksanakan olehsegenap pegawai negeri. Pihak yang membangkang, katanya, sama saja melanggarkewajiban pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Terkait pernikahan, Yuddy pun menampik bahwa persoalannyabukan hanya sebatas dari mana uang berasal. Ini soal bagaimana aparatur negaraharus menjadi teladan bagi masyarakat. Menurutnya, di balik urusan pribadipejabat publik melekat tanggung jawab sosial.

Nah, soal terlanjur rumit. Gerakan Hidup Sederhana yangdigagas Menteri Yuddy itu berdampak jauh. Bagi Ketua Perhimpunan Hotel danRestoran Indonesia, Wiryanti Sukmadani, surat edaran itu bisa membanting nasibhotel-hotel di Indonesia. Pemerintah, katanya, mungkin bisa menghemat Rp17triliun dari larangan pegawai negeri menggelar acara di hotel. Namun, kerugianindustri hotel bisa tak kalah besarnya.

Menurut Wiryanti, dari bisnis penyewaan ruangan hotel,industri perhotelan bisa mendulang sekitar Rp30 triliunan. Itu dengan catatantingkat hunian 60%. “Ketika acara rapat dari pemerintah dicabut, 20% pemasukanlenyap,” katanya.

Wiryanti bilang, dia setuju gagasan berhemat pemerintah,termasuk soal pembatasan rapat di luar kantor. Namun, katanya, pilihan ekstremitu bisa berujung pemecatan massal karyawan hotel. “Logikanya, kalau pendapatanhotel menurun, terpaksa kami bakal mengurangi karyawan,” katanya
Pengamat anggaran politik, Uchok Sky Khadafi, menilai suratedaran Menteri Yuddy merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap pegawai negeri.Sebab, katanya, aturan itu memaksa mereka untuk patuh, setia, dan taat sepertirobot. “Pemerintahan Presiden Joko Widodo bukan hadir untuk mendorong PNS hidupsederhana, tetapi sebatas bagaimana mengendalikan PNS,” katanya.

Akan tetapi, bagi Menteri Yuddy, surat edaran hidupsederhana itu adalah langkah awal keseriusan pemerintah dalam mendorongpenghematan. Setiap kebijakan, katanya, pasti mengundang pro dan kontra. Itupun bagus untuk proses evaluasi dan peningkatan kualitas kebijakan. Lagi-lagi,dia bilang bahwa aparatur negara harus menjadi guru dan teladan bagimasyarakat. Terlebih, saat ini masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinantergolong besar, yakni 11,25% dari populasi atau sekitar 28 juta jiwa.“Aparatur negara harus memiliki empati dan kepekaan”. Nah!


*Majalah SINDO Weekly Edisi 41-03 Nasional

Comments

Popular posts from this blog

Surat Terbuka untuk Penulis dan Pembaca Mahasiswa Bicara

Kemarin, 4 Maret 2016, kami seluruh awak Mahasiswa Bicara merayakan sebuah perayaan kecil-kecilan. Disebut perayaan kecil-kecilan karena hanya bisa menyajikan kopi, rokok dan sedikit camilan. Kami merayakan usia Mahasiswa Bicara yang baru menginjak delapan bulan. Usia yang masih segar. Sebagaimana niat awal kami, MahasiswaBicara.com hadir sebagai tempat yang didedikasikan sepenuhnya untuk anda para penulis, komunitas, dan tentu saja bagi para pembaca. Niat tulus Ibil Ar Rambany, Erika Hidayanti dan Kemal Fuadi adalah modal yang paling berharga bagi perkembangan media ini. Tidak perlu memakai teori Plato tentang idea-idea dalam meyakinkan ketiga rekan saya untuk terlibat di Mahasiswa Bicara. Cukup dengan kepedulian dan kegelisahan bersama akan hadirnya ruang bagi para mahasiswa untuk menuangkan ide sudah menjadi tawaran yang patut. Sebut saja Ibil yang saya dapuk sebagai pemimpin redaksi adalah lelaki pekerja keras. Pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini harus membagi waktu a

SBY Bapak Intoleransi

Memasuki hari-hari terakhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kelompok hak asasi Setara Institute menyoroti kegagalan dalam mempromosikan dan mempertahankan keharmonisan antara kelompok-kelompok agama di negara ini. Berdasarkan data lembaga itu, lebih dari 200 kasus yang berkaitan dengan intoleransi agama dilaporkan setiap tahun selama beberapa tahun terakhir, dan sebagian besar dari mereka tidak pernah diproses melalui jalur hukum. Laporan lain dari Wahid Institute, yang mempromosikan pluralisme dan Islam yang damai, melaporkan bahwa insiden tersebut telah meningkat selama 10 tahun masa bakti SBY. Laporan tersebut menunjukkan kasus intoleransi agama pada tahun 2012 tercatat sebesar 274, naik dari 267 pada tahun 2011 Pada tahun 2010, lembaga ini mencatat 184 kasus, sedangkan 121 kasus yang tercatat pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa SBY dianggap telah gagal untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok minoritas, seperti serangan terhadap

Pagi Sayang….

Kenapa aku masih memanggil kamu dengan panggilan sayang?, karena perasaanku sampai detik ini masih memendam rasa sayang. Entah sampai kapan panggilan itu bakal hilang. Entahlah… Berat memang semua ini. Di saat hubungan ini berjalan lancar tiba-tiba mendadak tercerai-berai. Hubungan yang hampir empat bulan ini seakan sirna begitu cepat. Sedikit demi sedikit aku mencoba untuk memahami semua ini. Hingga pada akhirnya aku menemukan sebuah kesimpulan bahwa semua yang terjadi saat ini bukanlah spontanitas, tapi memang keadaan ini sudah direncanakan. Entah direncanakan Tuhan atau mungkin direncanakan oleh makhluk ciptaannya. Semalam, aku ingat betul apa yang kamu raikan tentang semua ini lewat telpon. Kurang lebih kamu bilang begini, ”Berat meninggalkan kamu Mas, apalagi aku sayang banget sama kamu,”. Sejujurnya, tak ada sedikitpun rasa senang dalam ucapanmu malam itu. Karena aku meyakini bahwa apa yang kamu bilang itu hanya sebuah retorika kosong. Retorika yang keluar dari keb