Tak seperti biasanya, hujan terus-menerus mengguyur bumi Ciputat sejak semalam. Suara azan subuh yang biasanya terdengar jelas kini hanya sayup-sayup, tak ada kokok ayam pagi itu. Semua telinga hanya mendengar rintikan hujan. Sesekali suara motor terdengar saat melintas di depan kosan.
Kedua teman saya pun terlihat masih terlelap. Ku buka handphone, tak satupun pesan maupun panggilan yang masuk, lima menit sudah saya terdiam di tempat tidur. Badan mulai menggigil, sadar bahwa faktor kedinginan pagi ini lantaran kipas angin yang masih menyala. Tanpa menunggu lama, ku raih tombol off pada batang penyangga kipas.
Saya pun masih terdiam, sadar jam sembilan harus berada di kantor, tubuh ini kupaksakan untuk melangkah. Seperti biasanya setiap bangun tidur, tempat yang pertama dituju adalah ruang depan. Tanpa basa-basi gorden yang menutupi jendela dibuka. Tujuannya hanya satu: memastikan motor tetap berada di parkiran. Maklum, harta yang paling berharga selama hidup di Ciputat selain buku bacaan, motor Honda Supra X pun jadi barang yang paling berharga.
Setelah memastikan motor dalam kondisi aman, kuraihlah rokok Gudang Garam yang semalam ku beli dari warung kopi yang tak jauh dari tempat kos. Hisapan demi hisapan rokok pagi ini mendadak terganggu. Sontak, tulisan buat majalah yang rencana diselesaikan semalem belum digarap sama sekali.
“Shitt, gara-gara keasyikan nonton film semalem jadi lupa begini,” gumamku dalam hati.
Mendadak termenung, beginilah nasib seorang kuli tinta, tidak lepas dari yang namanya tulisan dan deadline. Kadang sempat berfikir, lama-lama lelah juga menjalani hidup sebagai seorang wartawan di media nasional. Apa mau dikata, saya sudah berkomitmen pada pimpinan untuk professional dalam bekerja. Inilah pelajaran penting tentang arti sebuah komitmen. Jika komitmen sendiri dilanggar, pada siapa lagi komitmen ini diberikan.
Melihat rokok masih tersisa setengah, kulanjutkan hisapan rokok pagi itu. Suara hujan masih terdengar kala itu, pilihannya hanya dua; mengambil laptop untuk menulis berita atau melanjutkan tidur sambil menyalakan alarm. Dengan terpaksa ku ambil laptop dan memulai tulisan. Kata demi kata telah terusun hingga mebentuk sebuah kalimat. Tak sadar, suasana kamar yang begitu sejuk membuat mata tak mau diajak kompromi, belum satu paragrap tubuh sudah terlelap.
Dalam tidurku pagi itu tak ada yang special, tak ada bunga tidur. Padahal setiap hendak tidur saya selalu berharap akan hadirnya mimpi indah. Kring.. Kring…, suara deringan handphone membuat saya terbangun, kerasnya suara itu sedikit membuat geram. Ku cari di mana letak sumber itu berasal. Baru saja ingin mematikan suara itu, sontak tersadar bahwa suara itu bukanlah alarm melainkan panggilan telpon. Ku baca panggilan itu ternyata dari redaktur. Hendak mau menerima panggilan, sang redaktur sudah mematikan panggilan.
“Ah, sudahlah,” dalam batinku.
Keinginan melanjutkan tidur begitu kuat, kusiapkan bantal dan sedikit menggeser laptop agar tidak tersenggol saat saya tidur. Masih ingat saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 9;00 WIB. Terdengar suara hujan yang masih belum berhenti, kulanjutkan tidur pagi itu.
Tanpa ada suara yang mengganggu, mata yang sebelumnya terlelap kini terbangun kembali. Sejenak terdiam sambil mengumpulkan nyawa. Di ruang depan kosan terdengar suara obrolan. Kuambil handphone yang sebelumnya diletakkan di samping laptop.
“Hah!, serius jam empat sore?,” teriak saya.
“Kenapa kalian kagak bangunin gue sih?, kan gue deadline hari ini,” tanya saya kepada kedua teman yang asyik berbincang.
“Busyet,, emang lu nitip pesan ke gue buat bangunin?,” jawab salah seorang teman saya.
Ternyata benar apa kata teman saya, tak ada pesan untuk membangunkan saya. Ku langkahkan kaki ini mendekati kedua teman saya, melihat rokok masih ada, kuhisap kembali rokok Gudang Garam itu. Ku lihat pintu yang sudah terbuka, terlihat hujan masih tak mau berhenti. Hampir satu jam saya ngobrol. Tak ada pikiran untuk melanjutkan tulisan.
Melihat hujan yang masih enggan meninggalkan tanah Ciputat, pada saat itulah muncul ide untuk tidak berangkat ke kantor. Ku buka kembali Handphone yang sudah di tangan. Ide untuk tidak pergi ke kantor makin menguat saat membuka situs berita yang banyak pemberitaan tentang Jakarta yang terendam banjir.
“Yes, ada alasan untuk tidak ngantor,” teriak saya sore itu.
Saat itulah saya mengambil laptop kembali dan melanjutkan tulisan. Pekan ini saya hanya dikasih beban satu tulisan terkait deklarasi Partai Persatuan Indonesia Raya. Kalimat demi kalimat saya rangkai hingga membentuk sebuah berita. Ku buka email dan ku kirim tulisan itu ke redaktur. Setelah itu kukirim pesan bahwa tulisan sudah dikirim lewat email. Redaktur pun hanya membalas, ‘OK, tulisan sudah diterima.
Hingga tulisan ini dibuat, hujan pun tak mau beranjak dari bumi Ciputat. Mungkin hujan hari ini namanya Rindu, seperti kamu yang selalu ku rindu. Atau saja barangkali hujan seharian ini bertutur soal kisah yang jamak, namun hanya sedikit yang mau mendengar dan peduli.
Macondo, 10 Februari 2015
*Tulisan ini dibuat dalam rangka 100 hari menulis cerita | #HariPertama
Comments
Post a Comment