Skip to main content

Kereta dan Kenangan Bersama Rena



Tiap kali naik kereta aku teringat sama sosok Rena. Aku masih ingat betapa bahagianya Rena saat pertama kalinya menginjakkan kaki di sebuah kereta. Tak ada dialog dan Aku hanya memandang wajahnya yang begitu merona. Wajah yang sampai detik ini masih tersimpan di kepala. 
--------------

Sebuah dialog terjadi antara Aku dan Rena di sebuah pesan singkat. Dari membahas hal-hal yang biasa sampai merujuk pada pengakuan yang mengejutkan. Rena kala itu mengaku selama hidupnya belum pernah naik kerata. Sebuah pengakuan jujur dari seorang wanita yang lahir dan besar di dekat ibukota. Sontak, Aku pun membalasnya dengan emot tertawa. “Hahah.. Oke, akhir pekan kita naik kereta,” balasku.  

Tibalah di akhir pekan. Sebelum ke stasiun, Aku meminta Rena untuk ke kosanku terlebih dahulu di Ciputat. Tujuannya supaya kami bisa berangkat bersama ke stasiun. Stasiun yang kami pilih adalah stasiun Pondok Ranji. Stasiun yang tentu saja paling dekat dari tempat tinggal kami. Aku di Ciputat dan Rena di Cipadu. 

Setibanya di stasiun, kubiarkan Rena untuk menikmati pemandangan di stasiun. Sedangkan aku pergi ke loket untuk membeli tiket kereta Jabodetabek (Commuter Line). Dari kejauhan Aku melihat Rena bagai anak kecil yang baru melihat pemandangan baru. Pemandangan yang asing baginya.  

Setelah tiket sudah di tangan, kupanggil Rena untuk segera memasuki tempat tunggu kereta. Kubimbing Rena sampai di tempat tunggu. Aku hanya ingin memastikan kalau ia tetap aman di sampingku. Kujelaskan beberapa hal di stasiun. Percakapanku seketika terhenti saaat mendengan suara dari stasiun “Ning nong ning nong, ning nong ningnong… Kereta menuju Tanah Abang segera datang, kepada para penumpang harap bersiap-siap”. “Tuh, kereta sebentar lagi tiba,” ujarku.

Aku memandangi wajah Rena yang mulai bahagia saat mendengar kereta segera tiba. “Nah, itu keretanya,” ujarku sambil menunjuk. Rena tersenyum dan semakin girang. Dua buah matanya fokus memandangi kereta yang segera tiba.  

Tak butuh lima menit, kereta pun akhirnya tiba. Kusuruh Rena untuk masuk lebih dulu. Aku membiarkan dia memilih tempat duduknya sendiri. Setibanya di dalam gerbong, Rena tak langsung memilih tempat duduk. Ia ingin berjalan-jalan dulu di gerbong. Tentu saja Aku memebuntutinya dari belakang. Aku menyadari mungkin ia ingin menikmati suasana gerbong terlebih dahulu sebelum kereta berangkat. 

Setelah puas berjalan-jalan, Rena akhirnya memilih tempat duduk yang lokasinya dekat dengan perbatasan gerbong kereta. Tempat duduk yang hanya berkapasitas dua orang. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Tingkah yang jarang sekali Aku lihat sebelumnya.

"Gimana rasanya?" aku membuka dialog dengan pertanyaan.

"Ternyata begini ya rasanya naik naik kereta itu," jawabnya polos.

"Nanti turunnya di mana?" tanya Rena.

"Nikmatin saja perjalanannya, kamu pasti tahu nanti" jawabku.

“Ish..,” ucapan khas Rena saat Aku tidak jelas menjawab pertanyaannya.

Rena pun kembali menikmati perjalanan. Ia lebih sering menengok ke belakang memandangi ibukota Jakarta dari jendela. Orang-orang yang di sekitar pun tak luput dari penglihatannya. Kebetulan hari yang aku pilih adalah Minggu. Selain Aku libur kerja, minggu adalah hari yang tepat untuk menikmati perjalanan dengan menggunakan jasa milik pemerintah. Orang-orang yang bekerja di ibukota pun libur. Sekalipun ada yang naik kereta mungkin hanya sekadar jalan-jalan atau berkunjung ke tempat saudara, kerabat atau tempat lain.

Selama diperjalanan Aku hanya memerhatikan tingkahnya. Ruangan di dalam gerbong tak luput ia pandangi termasuk pemandangan di luar yang bisa dilihat dari jendela. Aku pun terus terhanyut dalam kebahagiaan yang dirasakan Rena. Aku hanya ingin memastikan hari itu adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Sejarah yang akan dan terus bersemayam dalam ingatannya. Sejarah pertama kalinya naik kereta.

Tak samapi 30 menit perjalanan, tibalah di stasiun Tanah Abang sebagai pemberhentian pertama. “Lho, sudah sampai?” Rena kembali bertanya. “Belum sayang, di sini cuma transit,” jawabku. Kuantar Rena menuju jalur kereta selanjutnya. Tak perlu nunggu lama, kereta yang ditunggu sudah tiba. Perjalanan pun kami lanjutkan kembali dan tingkah Rena pun tak jauh berbeda saat di kereta sebelumnya. 

Sampai tibalah di ujung perjalanan, stasiun Kota. Stasiun pemberhentian terakhir perjalanan kami. Aku sengaja memilih stasiun Kota karena tak jauh dari tempat itu ada sebuah tempat wisata Kota Tua.  Tempat wisata andalan orang-orang ibukota yang murah-meriah. Wisata favorit setelah Monas, Ancol dan Kebun Binatang Ragunan. 

Di Kota Tua ini Aku tidak tahu Rena sudah pernah berkunjung atau tidak, yang pasti aku ingin menikmati kota tua berdua. “Kalaupun sudah tak apalah, Aku tetap saja ingin menikmati pemandangan bangunan-bangunan tua yang masih utuh bersama Rena,” pikirku. 

Tiba di stasiun, aku langsung mengajak Rena menuju Kota Tua. Dari stasiun, lokasinya tak jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kali ini Rena berusaha untuk menggenggam tanganku. Tentu saja ini tanda kalau Rena ingin tetap nyaman disampingku. Paling tidak ini sebagai tanda buat orang-orang kalau kami adalah sepasang kekasih. 

Sepanjang jalan kami ngobrol. Tentu saja obrolan-obrolan ringan yang membuat kami tertawa. Aku lupa siapa yang duluan membuka obrolan. Yang Aku ingat hanya Rena ingin ke suatu tempat yang ia tunjuk. 

Setelah keliling sana-sini, Aku memilih tempat duduk yang pas untuk menikmati sore bersamanya. Tempat yang cocok untuk bisa menikmati bangunan bersejarah sambil sesekali menikmati indahnya langit. Di tempat duduk itu Aku ingin menyelam lebih dalam, terhanyut dalam kebagiaan, mendekap lebih erat dan membisikkan, “Aku sanyang kamu, Aku ingin hidup bersamamu”. 

Senja sudah mulai bergulir, tanda kalau kami harus bergegas meninggalkan Kota Tua. Kuajak Rena untuk segera bangkit dari tempat duduk. Berkemas untuk meninggalkan Kota Tua dengan kenangan manis yang belum lama kami nikmati. Kami pun bergegas menuju stasiun tempat pemberhentian sebelumnya dan kembali ke tempat tinggal masing-masing dengan ingatan yang tak akan pernah hilang.  

Bagiku, hari itu adalah hari dimana aku memanjatkan doa kepada Tuhan agar Rena selamanya bahagia disampingku. Dan perjalanan kereta adalah partikel kecil dari kebahagiaan yang sudah kami rasakan sebelumnya. Saling merawat dan menggenggam erat dalam dekapan.

Comments

Popular posts from this blog

SBY Bapak Intoleransi

Memasuki hari-hari terakhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kelompok hak asasi Setara Institute menyoroti kegagalan dalam mempromosikan dan mempertahankan keharmonisan antara kelompok-kelompok agama di negara ini. Berdasarkan data lembaga itu, lebih dari 200 kasus yang berkaitan dengan intoleransi agama dilaporkan setiap tahun selama beberapa tahun terakhir, dan sebagian besar dari mereka tidak pernah diproses melalui jalur hukum. Laporan lain dari Wahid Institute, yang mempromosikan pluralisme dan Islam yang damai, melaporkan bahwa insiden tersebut telah meningkat selama 10 tahun masa bakti SBY. Laporan tersebut menunjukkan kasus intoleransi agama pada tahun 2012 tercatat sebesar 274, naik dari 267 pada tahun 2011 Pada tahun 2010, lembaga ini mencatat 184 kasus, sedangkan 121 kasus yang tercatat pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa SBY dianggap telah gagal untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok minoritas, seperti serangan terhadap

Mahasiswa dan Perkara Lari dari Kenyataan

Ada saja pembahasan menarik soal mahasiswa hari ini. Mahasiswa seringkali memposisikan dirinya pada kekuatan atau tingkatan tertinggi. Di mana semua orang adalah objek perbincangan yang harus divonis mati. Kalau sudah dalam taraf begini, diskusi pun menjadi meroket dan mengarah pada percakapan dewa. Pengkritik adalah dewa dan objeknya sebagai rakyat jelata. Dulu, wacana-wacana ringan tentang kondisi perpolitikan di Indonesia, atau tentang kondisi pendidikan maupun kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat selalu menghiasi kampus. Mahasiswa dulu selalu menganggap pemerintah sebagai pihak yang salah. Kini, wacana-wacana mahasiswa hari ini pada fokus pada rutinitas yang dijalani. Hadirnya KPK disebut-sebut sebagai sebagai penghalang mahasiswa untuk bergerak. Penumpul kreativitas dan ideologi dalam peran mahasiswa sebagai tulang punggung bangsa. Perusak wacana yang selalu digaungkan dan diagung-agungkan oleh para aktivis. Eits.. tunggu dulu, KPK yang dimaksud bukanlah Komisi

Surat Terbuka untuk Penulis dan Pembaca Mahasiswa Bicara

Kemarin, 4 Maret 2016, kami seluruh awak Mahasiswa Bicara merayakan sebuah perayaan kecil-kecilan. Disebut perayaan kecil-kecilan karena hanya bisa menyajikan kopi, rokok dan sedikit camilan. Kami merayakan usia Mahasiswa Bicara yang baru menginjak delapan bulan. Usia yang masih segar. Sebagaimana niat awal kami, MahasiswaBicara.com hadir sebagai tempat yang didedikasikan sepenuhnya untuk anda para penulis, komunitas, dan tentu saja bagi para pembaca. Niat tulus Ibil Ar Rambany, Erika Hidayanti dan Kemal Fuadi adalah modal yang paling berharga bagi perkembangan media ini. Tidak perlu memakai teori Plato tentang idea-idea dalam meyakinkan ketiga rekan saya untuk terlibat di Mahasiswa Bicara. Cukup dengan kepedulian dan kegelisahan bersama akan hadirnya ruang bagi para mahasiswa untuk menuangkan ide sudah menjadi tawaran yang patut. Sebut saja Ibil yang saya dapuk sebagai pemimpin redaksi adalah lelaki pekerja keras. Pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini harus membagi waktu a