Saya bingung tujuh keliling saat media ramai-ramai memberitakan soal kebangkitan komunisme. Apa sebenarnya yang membuat kesatuan seragam loreng dan ormas-oramas penggeruduk itu hilir mudik mengampanyekan bahaya komunisme. Begitu menakutkankah lambang palu arit di benak mereka? Apakah tidak ada ketakutan lain selain palu arit, misalnya takut masuk neraka? atau setidaknya mereka takut naiknya harga sembako yang jelas-jelas berdampak pada masyarakat?
Belum lama ada berita yang bikin mengocok perut. Seorang pedagang kaos di Blok-M, Jakarta, diciduk polisi lantaran kedapatan menjual kaos band thrash metal, Kreator, karena ada gambar palu arit di kaos itu. Ia dicurigai hendak membangkitkan gerakan PKI di Indonesia.
Awal tahun ini di Magelang juga ada pemberitaan hamper serupa, hanya gara-gara angka 43 yang menjadi logo HUT PDI Perjuangan yang menyerupai palu arit dipersoalkan. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kota Magelang terpaksa minta maaf karena karena banyaknya penolakan beberapa kalangan saat itu.
Masih seputar palu arit, ada lagi yang lebih menggelitik. Sebuah pemutaran film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Jakarta dan Yogyakarta ditolak ormas karena dianggap menyebarkan paham komunisme. Dan polisi sebagai aparat penegak hokum pun justru mengamini. Padahal, kalau kita nonton ribuan kali pun film itu, sama sekali tidak ada pesan-pesan PKI yang ditayangkan.
Ketakutan mereka akan gambar palu arit seperti ketakutan kita pada kecoa atau cicak. Kalaulah dikemukakan alasannya, sulit sekali kita mecernanya dengan akal sehat. Lagipula, dengan tubuh manusia yang lebih besar, dengan sekali injak atau sekali getok bisa tewas. Tapi itulah ketakutan yang seringkali menjangkiti masyarakat, sebuah ketakutan berlebih yang sebenarnya tidak rasional.
Begitu pun sama soal palu arit. Simbol yang membuat orang takut tanpa alasan yang masuk akal. Aparatur negara dan sebagian masyarakatnya di negeri ini mempunyai rasa takut berlebihan setiap kali melihat gambar palu arit. Alasannya selalu sama, logo palu arit yang beredar adalah tanda-tanda kebangkitan PKI.
Mereka masih terjebak dalam dogma bahwa logo palu arit itu PKI, PKI itu pembunuh, PKI itu ateis, PKI itu anti Islam dan PKI itu bla..bla..bla… Itulah pemahaman yang masih terkonstruk di kepala sebagian masyarakat Indonesia higga hari ini. Kata PKI, komunisme, dan logo palu arit tak lebih dari keberhasilan rezim Soeharto yang membawa alam bawah sadar dan menciptakan rasa takut akan kebangkitannya.
Yang paling mencolok, rezim Soeharto merubah alam bawah sadar lewat narasi-narasi sejarah tentang PKI. Baik itu berbentuk buku-buku maupun film. Semua hal yang berkaitan tentang PKI harus sesuai versi negara kala itu. Anak-anak sekolah pun diwajibkan merujuk buku sejarah versi negara dan menonton film G30S/PKI kala itu.
Bicara PKI memang masih dianggap momok yang menakutkan oleh sebagian masyarakat, termasuk beberapa kalangan mahasiswa sampai hari ini. Beberapa bulan lalu mahasiswa yang mengatasnamakan HMI Jakarta Raya menggelar aksi pembubaran acara Belok Kiri Festival di Taman Ismail Marzuki. Mereka menganggap acara yang diselenggarakan Belok Kiri Fest adalah bentuk kebangkitan PKI.
Sedih memang saat melihat mahasiswa hari ini masih saja terkonstruk dengan pemahaman-pemahaman sejarah rezim Soeharto. Padahal, jika mahasiswa mau meluangkan waktu untuk membaca dan memelajari beberapa sejarah dari beberapa sumber, mereka akan lebih jernih dalam memandang sejarah dan bukan sebuah kesalahan juga saat kita tidak sependapat dengan sejarah versi pemerintah. Bukankah kita sebagai mahasiswa dididik untuk kritis?
Ambil contoh soal Peristiwa 65, narasi sejarah versi pemerintah tentang hal itu tidak sepenuhnya jernih. Ada narasi sejarah yang gelap dan tidak terlihat hingga sekarang. Bahkan kalau boleh jujur masih menyisakan banyak tanya. Benedict Anderson dan Ruth McVey, buku A Preliminary Analysis of The October 1, 1965: Coup in Indonesia menyimpulkan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat dalam peristwa itu. Malah mereka mereka menyebut, PKI dan Presiden Soekarno adalah korban. Hasil riset mereka menjelaska peristiwa 65 meletus sebagai dampak kesenjangan sosial antara pimpinan tentara di daerah dan mereka yang berada dekat dengan pusat kekuasaan.
Lain halnya bagi sejarawan Princeton University, Bradley Simpson dalam makalahnya The International Dimensions of the Mass Killings in Indonesia, 1965-1966 menjelaskan adanya keterlibata Amerika. Ketika dua ideologi besar dunia (komunisme dan demokrasi) tengah saling berebut pengaruh kala itu, Amerika punya kepentingan besar agar Indonesia tidak jatuh dalam ideologi komunisme. Bradley Simpson menyebut Amerika punya kepentingan ekonomi atas Indonesia.
Hasil penelitian yang dilakukan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas tersebut jika benar-benar dipelajari akan membuka pola pikir kita dalam memandang persoalan yang ramai diberitakan akhir-akhir ini terkait komunisme. Paling tidak, kita tidak serta-merta mengiyakan pernyataan-pernyataan dari TNI maupun ormas-ormas tersebut.
Bukan berarti apa yang tulisan ini sampaikan mengamini tumbuh suburnya paham komunisme yang dalam sejarah dunia terbukti gagal dan bangkrut. Hanya orang tidak waras yang masih mempertaruhkan nyawanya untuk memperjuangkan ideologi tersebut. Dan ketakutan TNI dan ormas-ormas terhadap bangkitnya komunisme adalah mimpi buruk di siang bolong. Bukankah masyarakat itu takut sama TNI yang masih saja merampas tanah?
Kalau boleh jujur, saya sama sekali tidak takut akan bangkitanya komunisme. Saya takut masuk neraka. Hal yang bisa saya lakukan saat ini ya terus menebarkan kebaikan baik kepada orang yang dianggap sebagai komunis maupun orang yang membenci komunis. Tujuannya agar mendapatkan pahala dan masuk surga. Serius, saya takut masuk neraka. Apalah artinya kebangkitan komunis kalau pada akhirnya menghambat saya masuk surga.
(Tulisan ini dimuat di Mahasiswa Bicara dengan nama samaran)
Comments
Post a Comment