Saya mengenal Pram belum lama, kira-kira 4 tahun yang lalu. Itu pun pertemuannya bukan bertatap muka. Saya mengenal Pram lewat Tetralogi Buru. Kemudian perkenalan saya makin jauh hingga bertemulah dengan Bukan Pasar Malam, Gadis Pantai, Arok Dedes dan beberapa karya lainnya. Sungguh saya sangat beruntung bisa kenal Pram lewat bukunya.
Boleh dibilang saya adalah bagian terkecil dari banyaknya penggemar karya-karya Pram. Kalau dianalogikan air, saya hanyalah setetes air dari luasnya lautan. Ada yang lebih besar dan lebih paham dari saya ketika berbicara tentang Pram, tentang aktivitas Pram maupun tentang karya-karyanya.
Bagi saya Pram adalah sosok yang luar biasa, manusia yang punya nafas panjang untuk urusan menulis. Tidak terbayang bagaimana dia begitu jeli merangkai setiap kata untuk kemudian menjadikannya sebuah karya yang fenomenal. Karya yang sangat jujur dan sangan membumi.
Di luar itu semua, saya melihat Pram sebagai manusia biasa, hanya saja dia mampu melahirkan karya yang luar biasa. Saya tidak bermaksud menyembah Pram sebagai sosok yang diagung-agungkan. Pram hanyalah Pram, percikan ide-idenya yang membuat saya suka, dan entah seberapa sering saya mengutip buku-bukunya untuk sekadar memperkuat argumentasi maupun tulisan.
Belum lama saya baru saja membaca kembali Arus Balik. Seperti karya lainnya Pram mampu menyihir pembaca seperti sedang melihat kenyataan di depan mata. Sebuah bangsa besar yang disegani bangsa-bangsa lain, kemudian hancur berkeping-keping. Dari kehancuran itu yang tersisah hanya raja-raja kecil di daerah-daerah. Pram menulis bagaimana agama menghancurkan sebuah peradaban.
Apa yang ditulis Pram bila dikaitkan dengan konteks hari ini begitu nyata. Potret Pram dalam Arus Balik sama apa yang terjadi pada Bali. Untuk waktu cukup lama Bali adalah primadona, anak emas segala bangsa. Kemudian semua terlena. Hidup dalam kesukaan dan keserakahan. Tanpa sadar sesungguhnya krisis menggerogoti. Berlakunya Undang-undang Pornografi menjadi tonggak penting bagi kekalahan peradaban hindu Bali. Ya, begitulah Pram dalam berkarya. Ia mampu mengulas masa lalu dan meninggalkan masa depan.
Pram dan Chairil adalah dua nama sastrawan yang menghadirkan modernitas Indonesia wafat di bulan April. Saya hanya mempercayai bahwa memang tidak banyak, atau terlalu sedikit anak bangsa yang dengan karya fiksinya bisa menghadirkan refleksi dari cakrawala dan mampu menghadirkan imajinasi paling mendalam sekaligus jauh dari kebangsaan Indonesia melebihi Pram.
“Detik demi detik lenyap ditelan malam. Dan dengan tiada terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan malam dan siang. Tapi masalah-masalah manusia tetap muda seperti waktu. Dimanapun juga dia menampakkan dirinya. Dimanapun juga dia menyerbu kedalam kepala dan dada manusia, dan kadang-kadang ia pergi lagi dan ditinggalkannya kepala dan dada itu kosong seperti langit” (Bukan Pasar Malam).
Hari ini tepat satu dekade kepergian Pram, dan kita masih dalam keadaan yang masih sama: miskin dalam menghayal. Duafa dalam imajinasi. Bagaimana hendak menjadi modern, kalau dalam menghayal saja kita miskin dan soal imajinasi kita begitu dhuafa?
Dan malam minggu ini bertepatan dengan malam meninggalnya Pram, 30 April 2006. Tak ada internationale di rumahnya. Pram meninggal dengan tenang. Hanya dikelilingi keluarga dan anak muda terdekat yang menjaganya. Tanpa pers dan sepi.
Dalam perenungan ini, kembali kami mengenang dalam kerinduanku, Pram. Seperti sebuah genta yang bergema dalam diri saya sendiri, ingatan pada frasa dalam setiap karya-karyamu membunyikan sebuah pesan bahwa si dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang.
Mungkin benar apa katamu, Pram bahwa kesenangan adalah tanda bahwa kematian mulai meraba jiwa manusia. Sepuluh tahun kepergianmu masih tetap sama. Suaramu masih menggema, meneriaki telinga para intelektual muda untuk bangkit melawan penindasan atas bangsanya.
________________________
*Tulisan ini pernah dimuat di MahasiswaBicara.com. Nama penulis sengaja saya ganti dengan Ismail Amiruddin
Comments
Post a Comment