Hari ini, menjadi orang terpelajar, sangat nyata bukanlah ditujukan untuk mencerdaskan dan pendidikan politik jangka panjang. Menjadi mahasiswa hari ini, sepertinya hanya kesadaran akan pentingnya melengkapi kejenuhan hidup, tuntutan untuk mendapat gelar, dan pastinya hanya mengantarkan untuk mendapat kerja.
Fenomena ini semakin memperburuk kultur dialektis kampus. Orang-orang terpelajar strata satu harus lulus empat tahun, bahkan aturan terbaru harus lulus lima tahun, jika tidak, kampus akan men-drop out. Artinya, cita-cita mulia pendidikan direduksi menjadi sebatas cepat atau lamanya lulus. Inilah kemudian orang-orang terpelajar tertimpa beban berat dalam merampungkan studi.
Kuliah bak kesempurnaaan bagi orang terpelajar saat ini. Dan kerja adalah pilihan terakhir pasca lulus kuliah. Dalam konteks ini, kritik Pramoedya Ananta Toer dalam sekuel tetralogi buru terhadap paradoks orang terpelajar sangat tepat. Orang terpelajar cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin orang terpelajar akan menghamba kepada rakyat, jika kultur kampus sudah di-setting sedemikian rupa. Pendidikan dinilai sebagai loncatan menuju karier untuk menambang keuntungan finansial.
Bahaya jika pendidikan bergerak sekadar menghasilkan tenaga instan dan profesional. Akibatnya produk yang dihasilkan tak beda dengan robot yang sudah di sistem dan tenaga-tenaga yang siap menjadi pekerja.
Keinginan untuk mengabdi pada rakyat patut dipertanyakan. Alih-alih menjadi agen perubahan dan berdiri di garda paling depan dalam memperjuangan rakyat, orang-orang terpelajar dengan medium perguruan tinggi terjerumus dalam lingkaran hitam. Mereka melahirkan kelas-kelas baru; kelas penindas.
Sukses menaikkan grade dirinya sendiri sebagai kelas pertama dalam masyarakat, orang-orang terpelajar justru memproklamirkan dirinya sebagai kelas politik yang dominan. Mereka merasa berbeda dengan petani, buruh, pedagang, hingga membuat mereka menjadi elitis. Jika seperti itu, jurang pemisah orang-orang terpelajar dengan masyarakat kelas bawah semakin tak terelakan lagi.
Orang-orang yang seharusnya independen menyikapi konflik yang terjadi di masyarakat malah tak tahu arah, mereka condong membela korporasi. Bisa kita lihat, kelakuan teknokrat kampus-kampus kondang macam UGM, ITB, maupun IPB senada soal pegunungan Kendeng sampai Tanjung Benoa. Inilah petaka orang terpelajar.
Menjadi orang terpelajar memang dilematis. Jalan politis adalah pilihan terakhir. Orang terpelajar terjebak dalam sebuah pertanyaan apakah kita akan membebaskan diri dari penindasan, atau menjadi penindas?
Saya tidak bisa membayangkan seandainya Soe Hok Gie masih hidup dan melihat orang terpelajar hari ini. Pastinya akan muak. Pasalnya, di tengah kondisi petani yang hari ini masih ditindas oleh kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan, pemerataan ekonomi, maupun pelaksanaan Undang-undang, orang terpelajar justru tak mampu melakukan apa-apa. Maka inilah yang kemudian dikhawatirkan Pram terhadap orang-orang terpelajar dalam buku Anak Semua Bangsa. Ketika Minke melihat penindasan petani di Sidoarjo, ia tak mampu melakukan apa-apa.
Agen perubahan sosial sudah semestinya bukan hanya slogan yang dibangga-banggakan. Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar wacana yang tak kunjung dieksekusi. Akhirnya pengertian orang-orang terpelajar hanya datang ke kelas, tugas, lulus, lalu mendapatkan kerja. Orang tepelajar hadir bukan untuk korporasi, bukan untuk pemerintahan. Orang-orang terpelajar hadir untuk menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Yang pastinya memiliki moral kerakyatan, kemanusiaan, serta keadilan yang tinggi.
Sebenarnya, jika orang terpelajar meluangkan diri untuk merenung, kesempatan untuk bergerak kini sebenarnya terbuka lebar. Pasca reformasi, keran kebebasan dibuka selebar-lebarnya. Beberapa aktivitas legal draft sudah diupayakan tuk menekan munculnya aturan-aturan yang membelenggu orang-orang terdidik. Bekal tersebut sebenarnya mampu menjadi amunisi terpenting dalam setiap laju gerakan orang-orang terdidik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sejarah sudah merentangkan, bahwa orang-orang terdidik tak bisa bekerja sendiri. Saat reformasi, orang-orang terdidik mampu berimprovisasi dengan rakyat, membangun kekuatan dan menggulingkan penguasa. Gerakan yang dilakukan oleh orang-orang terdidik harus memiliki jaringan yang lebih terstruktur dengan kelompok-kelompok masyarakat. Minimal mempunyai jaringan dengan kelompok tani maupun buruh yang hari ini masih konsisten memperjuangkan reforma agraria dan upah layak.
Belajarlah dari generasi Tirto Adhi Soerjo, HOS Tjokroaminoto hingga generasi Sukarno. Mereka adalah generasi emas di zamannya. Mereka membangun pondasi dirinya menjadi humanis dengan mengedepankan dialektika, mereka tidak pernah alpa untuk mengkritisi ketidakadilan.
(Dipublikasikan di Mahasiswa Bicara)
Comments
Post a Comment