Skip to main content

Bela Kampus Dahulu, Bela Negara Kemudian



Apalah arti kampus kalau masih sering diteriaki toa. Sebagai mahasiswa total se total-totalnya, membela kampus jauh lebih berarti sebelum bela negara. Apalah arti membela negara kalau kampus dibiarkan sengsara. Sudah saatnya mahasiswa mendukung 100% aturan kampus.

Pejabat kampus itu punya tugas mulia. Semua demi kebaikan mahasiswa. Apa buktinya, banyak. Misal, banyak akhir-akhir ini beberapa mahasiswa menuntut pihak kampus menyediakan ruang terbuka hijau lantaran banyak tempat-tempat nongkrong dijadikan lahan parkir.

Bagus sih tuntutannya. Tapi, pernah nggak sih mereka (mahasiswa yang menutut) berfikir bahwa jika tidak ada lahan parkir, mau dikemanakan kendaraan-kendaraan yang dipakai mahasiswa? Mau di tempatkan seenake dewek? Lantas, kalau kampus nggak punya lahan untuk parkir, harus beli lahan lagi? Duitnya dari mana? Negara? APBN nggak cukup, mau ngutang lagi? Yakin, kalau negara ngutang lagi mahasiswa nggak demo? Yakin, kalau kampus meyediakan ruang terbuka hijau ada jaminan mahasiswa bakal ngejaga dengan baik minimal tidak buang sampah sembarangan?

Masih menganggap kebijakan kampus salah?

“Masih!,” ujar aktivis

Apalagi?

“Sistem pemerintahan mahasiswa masih kacau,” cetus aktivis dengan penuh percaya diri.

Sistem pemeritahan mahasiswa? Ok. Kalau saya tanya, mahasiswa mau sistem seperti apa? Kebanyakan aktivis sih maunya sistem Sudent Goverment (SG). OK, kelihatannya SG memberikan karakteristik dan warna tersendiri bagi masing-masing kampus. Walaupun tidak semua kampus memiliki format seperti itu. Tapi, konsep SG sampai saat ini masih dianggap relevan. Dan harus diakui pula bahwa konsep SG ini, masih dalam proses menuju tahap kesempurnaan. Bahkan Azyumardi Azra pun pernah bilang bahwa SG adalah Laboratorium for Democracy

Kalau maunya SG, apakah ada jaminan kalau mahasiswa mau dewasa dalam berpolitik? Bisa menjamin tidak ada istilah kecurangan dalam Pemira? Mampu mengikhlaskan jika ada golongan lain menang? Bisa menjamin kalau anggaran untuk SG dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan mahasiswa? Toh sistem pemerintahan mahasiswa yang baru saja masih masih gontok-gontokan.

“Terus, kampus kan sering mark up anggaran”

Loh-loh.. mark up anggaran?

“Iya, bener kan?”

Bener juga sih, kampus memang sering mark up anggaran. Tapi, bukankah mahasiswa juga sering mark up anggaran kan? Emang selama ini proposal kegiatan yang kalian buat tidak mark up? Mau kecil atau besar selama itu mark up ya tetap mark up.

Masih ada lagi permasalahan yang di kampus?

“Masih!”

“Birokrasi kampus masih ribet”

Ribet? Apanya yang ribet? Pembayaran? Bukankah hampir setiap kampus sistem pembayarannya sangat mudah. Tinggal datang ke bank-bank terdekat. Oh, bukan masalah pembayaran? Oh, masalah ngurus mata kuliah? Kalau soal mata kuliah sebenarnya simpel. Anda rajin kuliah, ngurus mata kuliah pun mudah.

Sudahlah, Bung. Saya yakin kampus selalu punya niatan yang baik buat mahasiswa. “Jauhilah berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah mencari-cari isu, janganlah mencari-cari kesalahan, janganlah saling bersaing, janganlah saling mendengki, janganlah saling memarahi, dan janganlah saling memusuhi! Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara,” begitu kata hadis.

Belajarlah yang baik, Bung. Selesaikan kuliah dengan tepat waktu, lanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan niatan untuk mengabdi pada negeri. Taati aturan kampus. Dan jangan lupa bela kampus tercinta ini. Sebelum bela negara.

Terus, kita gak boleh kritis dong? Boleh. Kritisisme adalah senjata utama mahasiswa, bukan badik, busur, ataupun bom molotov. Daya kritis yang dimiliki mahasiswa masih memiliki kekuatan subversif. Masih bisa merongrong kekuasaan yang sewenang-wenang. Tapi nanti, jangan sekarang.

Gimana Pak Rektor? Cocok nggak saya sebagai jubir Bapak? Semua pertanyaan-pertanyaan yang sering mahasiswa lontarkan dalam setiap suara merdu dari balik toa sudah saya balikan, tuh. Saya sudah membela kampus bapak. Jadi, kapan saya diwisuda?

(MahasiswaBicara.com)

Comments

Popular posts from this blog

Surat Terbuka untuk Penulis dan Pembaca Mahasiswa Bicara

Kemarin, 4 Maret 2016, kami seluruh awak Mahasiswa Bicara merayakan sebuah perayaan kecil-kecilan. Disebut perayaan kecil-kecilan karena hanya bisa menyajikan kopi, rokok dan sedikit camilan. Kami merayakan usia Mahasiswa Bicara yang baru menginjak delapan bulan. Usia yang masih segar. Sebagaimana niat awal kami, MahasiswaBicara.com hadir sebagai tempat yang didedikasikan sepenuhnya untuk anda para penulis, komunitas, dan tentu saja bagi para pembaca. Niat tulus Ibil Ar Rambany, Erika Hidayanti dan Kemal Fuadi adalah modal yang paling berharga bagi perkembangan media ini. Tidak perlu memakai teori Plato tentang idea-idea dalam meyakinkan ketiga rekan saya untuk terlibat di Mahasiswa Bicara. Cukup dengan kepedulian dan kegelisahan bersama akan hadirnya ruang bagi para mahasiswa untuk menuangkan ide sudah menjadi tawaran yang patut. Sebut saja Ibil yang saya dapuk sebagai pemimpin redaksi adalah lelaki pekerja keras. Pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini harus membagi waktu a

SBY Bapak Intoleransi

Memasuki hari-hari terakhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kelompok hak asasi Setara Institute menyoroti kegagalan dalam mempromosikan dan mempertahankan keharmonisan antara kelompok-kelompok agama di negara ini. Berdasarkan data lembaga itu, lebih dari 200 kasus yang berkaitan dengan intoleransi agama dilaporkan setiap tahun selama beberapa tahun terakhir, dan sebagian besar dari mereka tidak pernah diproses melalui jalur hukum. Laporan lain dari Wahid Institute, yang mempromosikan pluralisme dan Islam yang damai, melaporkan bahwa insiden tersebut telah meningkat selama 10 tahun masa bakti SBY. Laporan tersebut menunjukkan kasus intoleransi agama pada tahun 2012 tercatat sebesar 274, naik dari 267 pada tahun 2011 Pada tahun 2010, lembaga ini mencatat 184 kasus, sedangkan 121 kasus yang tercatat pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa SBY dianggap telah gagal untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok minoritas, seperti serangan terhadap

Pagi Sayang….

Kenapa aku masih memanggil kamu dengan panggilan sayang?, karena perasaanku sampai detik ini masih memendam rasa sayang. Entah sampai kapan panggilan itu bakal hilang. Entahlah… Berat memang semua ini. Di saat hubungan ini berjalan lancar tiba-tiba mendadak tercerai-berai. Hubungan yang hampir empat bulan ini seakan sirna begitu cepat. Sedikit demi sedikit aku mencoba untuk memahami semua ini. Hingga pada akhirnya aku menemukan sebuah kesimpulan bahwa semua yang terjadi saat ini bukanlah spontanitas, tapi memang keadaan ini sudah direncanakan. Entah direncanakan Tuhan atau mungkin direncanakan oleh makhluk ciptaannya. Semalam, aku ingat betul apa yang kamu raikan tentang semua ini lewat telpon. Kurang lebih kamu bilang begini, ”Berat meninggalkan kamu Mas, apalagi aku sayang banget sama kamu,”. Sejujurnya, tak ada sedikitpun rasa senang dalam ucapanmu malam itu. Karena aku meyakini bahwa apa yang kamu bilang itu hanya sebuah retorika kosong. Retorika yang keluar dari keb