“Jika kalian (Indonesia) tidak mampu, izinkan kami mengurus Papua sendiri” ujar salah satu aktivis papua di bundaran HI kemarin.
Ada empat hal yang menjadi tuntutan Aliansi Mahasiswa Papua kepada pemerintah, yakni memberikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua, menggantikan, menarik anggota TNI menuju dan dari Papua, serta memberikan referendum bagi warga Papua.
Aksi yang dilakukan AMP mengundang banyak spekulasi bahwa klaim Jakarta yang sudah memberikan terbaik untuk Papua menjadi dagelan basi kala rakyat Papua sendiri menuntut referendum. Apa sebenarnya yang menyebabkan keinginan referendum Papua masih begitu menggelora, sementara Jakarta mengklaim sudah habis-habisan berusaha? Apa benar kesejahteraan adalah sebenar-benarnya motivasi orang asli Papua maupun OPM untuk memisahkan diri?
Ya, pertanyaan itu sudah pernah dilontarkan saya kala menghadiri sebuah diskusi di Jakarta bersama beberapa aktivis Papua. Saya kira persoalan yang selama ini terjadi di Papua hanya sebatas kesejahteraan, ternyata tidak. Bukan soal kesejahteraan yang menyebabkan Papua masih bertahan pada keinginan untuk berpisah dengan Indonesia. Dari awal orang Papua sudah merasa berbeda dengan Indonesia. Mereka selalu menganggap dirinya bukan Melayu, tapi bangsa Melanesia.
Inilah yang kemudian menjadi alasan Mohammad Hatta tidak berani mengikutsertakan Papua sebagai bagian yang diajukan dari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Dalam sebuah sidang BPUPKI, Bung Hatta juga pernah menyanggah Bung Karno, mungkin benar Papua adalah bagian Indonesia, namun harus dibuat penelitian lebih jauh. Beliau mengharapkan agar menghindari kesan bahwa kita (Indonesia) melepaskan diri dari imperialis tapi menjadi imperialis juga.
“Jangan-jangan kita tidak puas hanya dengan Papua saja, tapi juga Solomon terus ke Laut tengah. Apakah kita bisa mempertahankan wilayah yang begitu luas? Seolah kita ini sebelum merdeka, sudah menganjurkan politik imperialisme. Mau ini, mau itu. Janganlah kita mengeluarkan alasan yang agak menyerupai semangat imperialistis,” kata Bung Hatta
Sebenarnya jauh sebelum itu, tepat saat terjadinya Sumpah Pemuda tahun 1928, ketidakhadiran ‘Jong Papua’ menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada ikatan batin antara Papua dan Indonesia. Papua kala itu sudah hidup tenteram dengan tata aturannya sendiri. Hingga tepat pada 1 Desember 1961 melalui otoritas lokal mereka mendeklarasikan diri hidup sebagai sebuah negara merdeka, Negara Papua. Jika benar historisitas ini terjadi, maka sudah sepantasnya mereka dianggap setara kedudukannya dengan semua negara di dunia ini. Artinya, Negara Papua sudah merdeka sedari dulu.
Sayangnya, selang 18 hari pasca deklarasi, kemerdekaan Papua ternodai. Bung Karno memerintahkan militernya untuk merebut dan mengamankan Papua. Diberikanlah nama Irian untuk Papua oleh Bung Karno sebagai kepanjangan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Masyarakat Papua diminta bergabung secara paksa tanpa memberi kesempatan untuk membela diri.
Konflik di Papua memang sudah terjadi sejak dulu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah membeberkan empat akar permasalahan yang terjadi di Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Orang Papua masih belum merasa bahwa proses integrasi ke dalam Indonesia itu benar. Kedua, Operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia hingga menjadi luka kolektif yang terpendam lama.
Ketiga, kenyataan kondisi pendidikan dan kesehatan yang buruk, memunculkan stigma bahwa masyarakat Papua semakin merasa termarjinalkan. Keempat, kegagalan pembangunan Papua. parameternya sederhana, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat. Dan Negara tidak hadir di bagian-bagian di mana orang Papua sedang membutuhkan.
Orang asli Papua secara empirik merasakan hal itu. Alurnya kemudian berubah menjadi separatisme terinstitusionalisasi dalam wajah OPM—yang oleh negara selalu menyebut sebagai kelompok pemberontak. Pertarungan terus berlanjut tatkala negara melalui instrumen keamanannya selalu siaga untuk membasmi semua itu. Negara bersembunyi di balik mandat konstitusi yang sah.
OPM yang bekerja secara underground terus mengampanyekan kemungkinan lebih baiknya Papua jika diurus oleh dirinya sendiri, tak lagi perlu bergantung pada Jakarta. OPM pun menampik faktor kesejahteraan. Baginya, yang terpenting adalah diakuinya kemerdekaan mereka pada 1961. Persoalan akan selesai ketika Indonesia menghormati kemerdekaan mereka. Tidak ada pemberontakan atau separatisme, yang ada adalah perjuangan mencari keadilan termasuk pengorbanan mencari pengakuan. Salah seorang petinggi OPM pernah berkata, “kami adalah negara merdeka, yang semestinya dihormati sebagaimana Indonesia dihormati sebagai negara konstitusional”.
Lantas, bagaimana menyelesaikan semuanya? Entah bagaimana solusinya kemudian, saya kira dialog masih menjadi solusi yang menjanjikan. Meski akan melelahkan bahkan sampai menyebalkan. Namun, komunikasi yang intens akan memunculkan kesepahaman satu sama lain. Paling tidak, titik temunya akan sama, tidak lagi berbeda seperti selama ini. Masalah papua tak akan pernah selesai jika tak disentuh dasarnya. Jakarta dan Papua harus bertatap muka dalam satu meja secara intens.
Kemudian, sambil dialog terus dilakukan, OPM jangan egois. Izinkanlah anak-anak tak bersalah itu mengenyam pendidikan lebih baik di Indonesia. Jika OPM tetep ingin pisah dari Indonesia, biarkanlah mereka merdeka. Karena jika Papua merdeka dan kemudian menjadi negara maju, Indonesia harus belajar dari mereka bagaimana membuat negara lebih baik. Namun, jika Papua makin terpuruk pasca merdeka, tentu akan jadi pertimbangan bagi kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. (MahasiswaBicara.com)
Comments
Post a Comment